Plesiran Tempo Doeloe
Banda Aceh-Sabang
Day-1 :Kerkhof Peutjoet, Museum Tsunami, Gunongan, Pesawat Dakota RI
11 October 2012
PENGANTAR
Untuk kesekian kalinya, tepatnya PTD yang ke 106BATMUS (Sahabat Museum) kembali menggelar Plesiran Tempo Doeloe yang kali ini dipilih jurusan paling barat dari kepulauan Nusantara yaitu Atjeh (Banda Aceh) dan pulau Weh dengan ibukotanya Sabangyang sebelumnya terkenal dengan Pelabuhan Bebas Sabang. Durasi plesiran tidak terlalu lama yaitu selama 4 hari dan 3 malam karena jarak tempuh yang tidak terlalu panjang baik dikota Banda Aceh maupun di Sabang sehingga tidak membebani waktu cuti kerja bagi yang masih aktif bekerja. Hari yang dipilih adalah Kamis, Jum’at, Sabtu dan Minggu.
Sedianya PTD ke daratan paling barat kepulauan Indonesia ini akandiadakan pada bulan Januari 2012 yang lalu dimana semua persiapan sudah rampung, seperti tiket sudah dikantongi masing-masing peserta sebanyak 35 orang, hotel, transportasi darat dan laut, tempat-tempat makan, lokasi yang akan dikunjungi, panitia lokal yang akan membantu, bahkan kami sudah men DP hotel, rumah makan dan restoran dan tinggal menunggu hari H keberangkatan tanggal20 Januari 2012. Namun apa daya, kondisi lapangan pada waktu itu kurang kondusif diluar perhitungan panitia PTD. Keadaan di Aceh waktu itu menjelang Pilkada Gubernur dan Wagub dan terjadi situasi politik yang memanas disertai beberapa kali insiden penembakan-penembakan terhadap orang-orang sipil. Panitia cepat bertindak untuk memutuskan menunda Ptd diwaktu lain dimana kondisi daerah Aceh benar-benar kembali normal.
Setelah menunggu sekian bulan dan berdasarkan informasi yang kami himpun dari berbagai sumber yang mengatakan bahwa situasi sudah aman betul di Aceh, maka kami putuskan menggelar kembali PTD yang dinanti-nantikan ini karena siapa sih yang mau bepergian ke Aceh ber ramai-ramai kalau tidak dengan Batmus yang telah teruji kualitas tour sejarahnya. Perlu kami apresiasi bahwa kota Banda Aceh sekarang ini benar-benar diluar perkiraan kami sebelumnya. Kota yang aman, nyaman dan damai, penduduknya yang welcome kepada turis baik lokal maupun mancanegara, penataan kota yang rapih, bersih teratur dan sangat indah.
PREPARATION TO DEPARTURE
Ketua komunitas Sahabat Museum, anak saya Adep, kembali mempersiapkan dari awal rencana plesiran dengan mengumumkan melalui milis Sahabat Museum kepada calon peserta. Bagi yang telah mendaftar dipersilahkan membeli tiket Airline sendiri-sendiri. Hal ini dikarenakan bahwa merujuk kepada pengalaman Ptd yang lalu dimana tiket pesawat dibeli secara group dan harganya mahal, dan ternyata apabila di sambung sendiri biasanya melalui pembelian tiket secara online, harganya relative lebih murah dan tidak sulit mendapatkannya. Sebelumnyadengan sistim group, kita booking dulu sebanyak misalnya 60 seat, akan tetapi bila peserta tidak sampai sebanyak yang kita book maka dikenai denda oleh maskapai airline sebesar 25% per tiket. Kapok deh.
Panitia Ptd seperti biasa terdiri dariAdep, Bu Wisda, Pak Amran dan Olive sudah berada di airport Soetta pukul 06.00 pagi. Jadual penerbangan Lion Air adalah pukul 8.15 dan molor selama 30 menit. Panitia menunggu di depan pintu masuk untuk check in. Tak banyak peserta yang kelihatan setelah hampir satu jam menunggu, hanya ada beberapa orang saja. Dan ternyata begitu peserta sampai di airport mereka langsung masuk sehinggaternyata pula didalam waiting room semua peserta sudah asyik ngobrol menunggu boarding.
Peserta plesiran kali ini seperti biasa yaitu peserta yang sudah pernah dan sering ikut Ptd Batmus seperti : Indie dan maminya Bu Nur, Jatu Purbandini, Bu Rini, Bu Yanti, Sonya, Bu Rosa, Bu Tati, Bu Dako Cian yang kali ini didampingi sang suami Pak Anas, Ida Maryana, Ayu Tresna, Maya Rian, Pak Rudi, Bu Sri Sunari, Bu Sonyawati serta muka-muka yang baru bergabung: Bu Budi Lestari, Bu Monika, Mrs Arimoto Masako, Bu Nurriany, Jessica, Bu Anita Chatab, Bu Fauzia Afiff, Sri Diniharini, Fay, Bu Eveline, Indi dengan bundanya Bu Budirahayu. Para peserta sesampai di airport langsung menuju pintu masuk untuk check in tanpa harus berkumpul di satu titiksebelum masuk seperti biasanya kami lakukan sebelumnya. Kami dari panitia berbagi tugas untuk mengumpulkan peserta yang sebagiannya sudah berada di waiting room dan sebagian lagi masih diperjalanan. Hampir pukul 7.00 semua peserta sudah siap di waiting room menunggu boarding.
HARI ke 1,Kamis 11 Oktober 2012.
Penerbangan ke Aceh dengan pesawat Lion Air ditempuh selama hampir 3 jam nonstop tanpa kita disuguhi satu tetes air minum *keluh* oleh pramugarinya dan mendarat dengan mulus di bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Kami telah ditunggu oleh panitia local sdr Zulfikar yang menyediakan sebuah bus sewaan besar dengan kapasitas seatnya sebanyak 45 seat. Bus ternyata merupakan Bus Dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh berplat merah dan tingkat kenyamanan yang cukup baik dengan sopir pak Net dan pembantu sopir Akhmat yang ramah. Setelah membereskan bagasi masing-masing maka acara pertama kami adalah makan siang di rumah makan Ayam Tangkap Aceh Rayeuk.
Ayam Tangkap Aceh Rayeuk
Berlokasi di Jalan Medan Km 3 Leung Bata dengan menu khas Aceh berupa ayam goreng kampung yang dagingnya dipotong kecil-kecil dan kemudian di goreng garing bersama berbagai jenis daun-daunan sebagai bumbu tambahan yang rasanya gurih nian.
Selesai makan siang dimulailah plesiran dengan mengunjungi lokasi pertama yaitu Museum Tsunami. Tapi sebelum masuk museum, kami kunjungi terlebih dahulu Kuburan Belanda atau Kerkhof Peutjoet yang terletak dibelakang museum Tsunami. Kami ditemani dan diceritakan sejarah Aceh pada umumnya dan kali ini bercerita tentang Kerkhof ini oleh nara sumber setempat yaitu Bapak Ramli yang menguasai betul tentang sejarah Aceh tempo dulu.
KERKHOF PEUTJOET
Kerkhof berasal dari nama Belanda yang berarti halaman gereja atau kuburan, sedangkan Peutjoet berasal dari nama salah seorang putra Sultan Iskandar Muda yang dihukum mati oleh ayahnya dan dikuburkan di salah satu bukit kecil di komplek makam sehingga penggabungan nama Kerkhof dan Peutjoet dikenal dengan situs sejarah peninggalan Belanda seluas 3,25 ha.
Pada makam ini dikuburkan sebanyak 2200 serdadu dan terdapat 4 jenderal petinggi Belanda yang namanya terukir di pintu gerbang pemakaman, termasuk nama-nama dari serdadu Belanda yang pribumi dan dikenal dengan nama-nama Jawa, Ambon, Manado, Batak dll. Awalnya pemakaman ini dikelilingi pagar besi, kemudian pada tahun 1970-an diubah menjadi pagar kawat Ram setinggi 1 ½ m dengan pertimbangan keamanan. Pada tahun 1980-an pagar ini diganti lagi menjadi dinding beton setinggi 2 m sampai sekarang.
MUSEUM TSUNAMI
Museum Tsunami Aceh dibangun di pusat kota Banda Aceh kira-kira 1 km dari Masjid Raya Banda Aceh. Museum ini merupakan museum untuk mengenang kembali peristiwa tsunami maha dahsyat yang menimpa Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang menelan korban lebih kurang 240.000 orang. Dibangun dengan konsep rumah panggung khas Rumoh Aceh yang dapat digunakan sebagai escape building saat banjir atau saat tsunami terjadi.
Memasuki Museum kami di pandu oleh Ibu Syarifah (maaf kalau keliru penyebutannamanya ya Bu) petugas dari museum Tsunami. Pertama kali kami memasuki sebuah lorong bercahaya remang-remang dan disiram titik-titik air dan embun dari ketinggian lorong sekitar 10 mdengan kesan agak menyeramkan juga.Keluar dari ujung lorong kami mendapati ruang yang juga bercahaya temaram seluas sekitar 30 m persegi yang dilengkapi dengan sejumlah monitor dari standing computer yang berisi rekaman peristiwa tsunami yang paralel kesemua monitortv. Kami semua tidak menyi-nyiakan kesempatan menyimak adegan peristiwa tsunami dari monitor tersebut. Selanjutnya kami dibawa ke satu ruangan yang berbentuk bundar yang disekeliling dindingnya berisi nama-nama korban tsunami yang diperkirakan berjumlah lebih dari 200 ribu orang. Ruang selanjutnya kami dibawa ke ruang pameran foto keadaan kota Banda Aceh sebelum dan sesudah Tsunami. Disini kita mendapat gambaran nyata yang betapa dahsyatnya tsunami tersebut dimana disatu kawasan yang tadinya adalah merupakan pemukiman padat peduduk, sesudah tsunami menjadi rata dengan tanah, dimana rumah, bangunan, dan mayat bergelimpangan dimana-mana. Miris sekali…uhh. Selanjutnya kami dibawa ke ruang theater kecil dengan layar monitor lebar seperti di bioskop. Lagi-lagi dengan suguhan peristiwa tsunami yang gambarnya berukuran besar dan lebar. Selesai dari Museum Tsunami kami melanjutkan plesiran ke Gunongan yang terletak tidak jauh dari Museum Tsunami.
GUNONGAN
Gunongan adalah sebuah bangunan berbentuk unik dan dicat dengan warna putih. Gunongan ini merupakan simbol kekuatan cinta Sultan Iskandar Muda kepada permaisurinya yang cantik jelita yaitu Putri Phang yang berasal dari Pahang Malaya. Agak mirip ceritanya dengan Taj Mahal di Agra India. Tapi dalam skala lebih kecil. Alkisah putri Phang sering merasa kesepian ditengah kesibukan sang suami sebagai kepala pemerintahan. Ia selalu teringat dengan kampung halamannya di Pahang. Sang suami memahami kegundahan permaisurinya. Untuk membahagiakan sang permaisuri ia membangun sebuah gunung kecil (gunongan) sebagai miniatur perbukitan yang mengelilingi istana Putri Phang di Pahang. Setelah Gunongan selesai di bangun alangkah bahagianya sang permaisuri. Hari-harinya banyak dihabiskan dengan bermain bersama dayang-dayang disekitar gunongan, sambil memanjatinya.
Gunongan terletak di Jalan Teuku Umar berhadapan dengan lokasi perkuburan serdadu Belanda (Kerkhof). Bangunan ini didirikan dimasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) pada abad ke 17. Bangunan tidak terlalu besar bersegi enam, berbentuk bunga, bertingkat tiga dengan tingkat utamanya sebuah mahkota tiang yang berdiri tegak. Pada dindingnya adasebuah pintu masuk berukuran rendah yang selalu dalam keadaan terkunci. Dari lorong pintu itu ada sebuah tangga menuju ke tingkat tiga. Pada waktu Batmus berkunjung sebagian peserta masuk ke bangunan dan naik ke puncak Gunongan, daaannn apalagi kalau semuanya berfoto ria dari berbagi sudut Gunongan dan berbagai gaya. Konon katanya dahulu kala ditengah-tengah Gunongan terdapat sungai kecil dengan air yang jernih dimana permaisuri dan dayang-dayangnya mandi dan berjemur.
PESAWAT DAKOTA RI – 001 SEULAWAH.
Selesai mengunjungi Gunongankami menuju ke hotel Madinahuntuk beristirahat, mandi, sholat sampai waktu magrib. Bus yang kami tumpangi beberapa kali mengeliling lapangan yang besar sekaliberbentuk segi 4 yang dikenal sebagai lapangan Blang Padang dimana disebelah kiri setiap sisi lapangan terdapat perkantoran dan rumah-rumah peduduk, dan kami melihat pula sebuah pesawat replika RI 1 Seulawah dipajang di sebuah sudut lapangan sebagai sebuah museum terbuka yang bisa dikunjung setiap orang tanpa membayar. Lapangan Blang Padangini yang dulunya sebagai tempat untuk acara bendera pada hari besar nasional, kini menjadi pusat kegiatan masyarakat untuk bersantai ria dan berolah raga. Ada track jogging, lapangan sepakbola, bola basket dan pilar-pilar untuk fitness ringan. Semula kami akan berhenti sebentar di samping pesawat tersebut, akan tetapi karena sudah menjelang sore dan kami sudah mulai kelelahan, maka kami hanya menikmati saja pesawat tersebut dan mengambil fotonya dari dalam bus.Informasi yang kami dapat adalah bahwa pesawat tersebutmerupakan bukti nyata dukungan yang diberikan masyarakat Aceh dalam proses perjalanan Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Pesawat Seulawah inilah yang menjadi cikal bakal maskapai Garuda Indonesia Airwaysdisumbangkan melalui pengumpulan harta pribadi dan saudagarAceh, sehingga PresidenRI ke 1, Bung Karno menyebut ”Daerah Aceh adalah Daerah modal bagi Republik Indonesia” dan melalui perjuangan rakyat Aceh seluruh wilayah RI dapat direbut kembali dimana pesawat Seulawah ini dipakai berkeliling Indonesia waktu itu.
Hari sudah menjelang sore dan kami menuju langsungke hotel Madinah, chek in, pembagian kamar, istirahat, sholat. Selesai istirahat di hotel, acaraselanjutnya adalah keluar hotel lagi untuk makan malam di restoran Hasan di jalan Krueng Raya Km 3 Banda Aceh. Selesai makan malam bukannya langsung kembali ke hotel akan tetapikami pintong terlebih dahulu untuk ngopi di Kopi Solong “Jasa Ayah” yang terkenal itu, yang selalumenyediakan minuman kopi enak. Di kota Banda Aceh sudah merupakan budaya bahwa penduduknya sangat menikmati makan minum dan ngopi di tempat-tempat terbuka yang tersebar di setiap sudut kota seperti layaknya pasar malam. Di setiap lokasi makan minum tersebut para pedagang menyediakan meja dan kursi seperti sofa dari plastik, bukannya bangku seperti yang kebanyakkan kita lihat di Jakarta dan kota lainnya di Indonesia. Dalam acara ngopi di Kopi Solong tersebut yanguniknya adalahselain memesan kopi yang dicampur dengan susu kental manis, beberapa ibu-ibu juga menyeruput kopi hitam (black coffee) tanpa gula. Kami membayangkan sesampai di hotel kagak bisa tidur karena pengaruh kopi, tetapi ternyata sesampai di hotel mereka tidur pulas sampai pagi. Kopinya dicampur G kali ya. Di restoran ini kami ditemani olehrekan kami Putri, salah seorang teman Batmus di Banda Aceh yang ikut membantu persiapan PTD dan memeriahkan acarangopi-ngopi tersebut. Banyakpara peserta terutama ibu-ibu yang membeli oleh-oleh kopi Aceh yang terkenal di café tersebut dan mulai menyicil beli oleh-oleh khas Aceh lainnya yang banyak dijual di sekitar café tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H