Sejak insiden tewasnya enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) beberapa waktu lalu, tagar Indonesia darurat HAM terus bergulir di media sosial. Bahkan dari sipil biasa hingga elite politik, mendesak dibentuknya tim pencari fakta (TPF) independen untuk menguak misteri yang hingga kini masih menggelinding bagaikan bola panas.
Tuntutan itu tentunya tidak berlebihan, sebab pengalaman masa lampau dengan keberadaan penembak misterius (petrus) yang diindikasikan publik "dipelihara" negara masih melekat kuat dalam benak masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia tak ingin, demokrasi yang sudah dibangun lebih dari 20 tahun ini kembali dirusak oleh nafsu bejat berkuasa.
Akan tetapi, rakyat juga perlu membuka mata dan pikiran. Ada isu-isu strategis lainnya yang harus tetap dikawal dan dipelototi prosesnya. Salah satunya adalah terkait kasus-kasus korupsi di tengah situasi pandemi Covid-19. Utamanya, kasus korupsi yang melibatkan kader partai berkuasa seperti dugaan kasus korupsi lobster yang dilakukan kader Gerindra yang juga Menteri KP Edhy Prabowo dan dugaan kasus korupsi bansos oleh kader PDIP yang juga menjabat sebagai Menteri Sosial Juliari Batubara.
Dalam perspektiktif modern, korupsi selain extra-ordinary crime juga dianggap sebagai crime againts humanity. Jika kasus HAM "fisik" berdampak beberapa keluarga terdampak, bayangkan dampak korupsi uang negara yang diperuntukkan untuk pemenuhan hak-hak rakyat.
Seperti yang diungkapkan praktisi hukum Saldi Isra, menyebutkan perbuatan korupsi secara tidak langsung dan secara terus menerus dapat membunuh manusia. Oleh sebab itu, dengan status korupsi sebagai extra-ordinary crime (kejahatan luar biasa), tentunya kita sebagai rakyat harus mendesak aparat penegak hukum juga melakukan penanganan yang tidak biasa pada pelaku koruptif.
Apalagi, korupsi yang dilakukan kader Gerindra dan PDIP ini dilakukan di waktu yang tak biasa. Korupsi dilakukan di saat ekonomi negara yang "ringkih" karena gejolak global dan di tengah situasi kebatinan rakyat yang terbebani oleh pandemi Covid-19.
Tentunya, atas nama moralitas dan adab ketimuran, perilaku kader Gerindra dan PDIP ini bisa disebut super extra-ordinary crime atau kejahatan yang sangat luar biasa. Artinya, perhatian kita sebagai rakyat juga harus super ekstra untuk mengawal kasus ini.
Jangan sampai konsentrasi yang terpecah justru membuat kasus korupsi super extra-ordinary crime kader Gerindra dan PDIP justru menyelinap kabur di tengah kehebohan publik. Contohnya, pasal "ringan" yang ditujukan kader PDIP yang korupsi bansos. Wabendum PDIP Juliari Batubara ini hanya dikenakan pasal suap, padahal sebelumnya Ketua KPK pernah berjanji akan menghukum mati pelaku korupsi bantuan bencana.
Lalu, kasus "tergigit" lobsternya kader Gerindra yang menjabat Menteri KP siapa yang tahu perkembangannya?
Kita tentunya sepakat, setiap pelanggaran HAM, baik yang terjadi hari ini maupun di masa lampau harus dituntaskan. Akan tetapi, kita juga tak boleh melupakan kader Gerindra dan PDIP yang memakan hak rakyat di saat rakyat benar-benar dalam keadaan susah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H