Mohon tunggu...
Amran Ibrahim
Amran Ibrahim Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pencatat roman kehidupan

iseng nulis, tapi serius kalau sudah menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Oligarki Otoriterian Bermain, Demokrat di-PPP-kan?

10 Juni 2020   11:48 Diperbarui: 10 Juni 2020   12:08 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendukung pencapresan Prabowo Subianto. Dukungan itu diberikan berdasarkan hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II PPP (12/5/2014). Namun, pasca Prabowo kalah oleh rivalnya Joko Widodo, menjelang pelantikan presiden, kubu Romahurmuziy (Romi) menggelar Muktamar tandingan pada 16 Oktober 2014.

Muktamar kubu (Romi) yang menjadi tandingan Muktamar Jakarata PPP kubu Surya Dharma Ali (SDA), secara tegas menyatakan diri berada dan mendukung pemerintahan. Upaya islah dari kader senior PPP untuk menyatukan kedua kubu selalu menemukan jalan buntu. Disela upaya islah tersebut, dukungan kubu Romi mendapatkan pengesahan melalui Keputusan Menkumham Nomor M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014.

Namun pengesahan Menkumham terhadap kubu Romi tidak menyelesaikan permasalahan yang ada. Keputusan itu tidak dihiraukan oleh kubu SDA yang tetap yakin mereka bagian sah kepengurusan PPP dan enggan bergabung dengan kubu Romi. Kondisi keterbelahan tersebut diikuti oleh tingkatan akar rumput. DPW dan DPC terbelah sempurna hingga saat ini.

Perpecahan juga dialami oleh partai berlambang beringin, Golongan Karya (Golkar), yang pada Pilpres 2014 mendukung pencapresan pasangan Prabowo-Hatta. Kubu Abu Rizal Bakrie (ARB) yang hendak menggelar munas pada 30 November 2014 dianggap kubu Agung Laksono melanggar Anggaran Dasar Golkar. Usai terpilih kembalinya ARB pada munas Bali, kubu Agung menemui Jusuf Kalla untuk meminta restu diselenggarakannya Munas versi Agung.

Pada 6 Desember 2014, kubu Agung melakukan perlawanan dengan kubu ARB dan menggelar munas tandingan di Hotel Mercure, Ancol. Jalan runding menemukan titik tengah sempat dilakukan oleh kedua pihak pada 23 Desember 2014, tapi hal itu tidak menemui kata sepakat. Keluarnya SK Menkumham yang mengakui kubu Agung sebagai pemimpin yang sah membuat perpecahan di tubuh Golkar semakin meruncing.

Perpecahan dua partai besar di awal kepemimpinan Jokowi pada 2014 banyak dianggap oleh berbagai pihak sebagai skenario kekuasaan untuk meraup dukungan yang maksimal di parlemen dan konstituen di kalangan akar rumput. Karena, hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 menempatkan kubu Koalisi Merah Putih (KMP); yang mendukung Prabowo, menguasai 52 persen kursi parlemen. Selain di DPR pusat, koalisi ini juga mendominasi parlemen daerah dengan menguasai 28 dari 34 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi di seluruh Indonesia.

Demokrat di PPP-kan?

Pilpres 2019 kembali mengantarkan Jokowi sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di Indonesia. Selain itu, berbeda dengan pemilu sebelumnya, pada pemilu kali ini Jokowi mendapatkan dukungan penuh dari parpol yang ada di Senayan. Bisa dikatakan, hampir 79 persen parpol di Senayan mendukung secara penuh pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Dengan persentase 7,7 persen kursi di DPR RI, Partai Demokrat menjadi salah satu partai yang saat ini berada di luar pemerintahan. Partai Demokrat yang saat ini dikomandoi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan partai berlambang mercy ini menjadi oposisi pemerintah. "Kami tidak akan sungkan untuk memberikan kritik yang membangun, kritik cerdas, dan konstruktif. Karena itu yang harus terjadi dalam sebuah demokrasi," ungkap AHY.

Sikap kritis Demokrat, terutama di masa-masa pandemi Covid-19 ternyata menarik perhatian publik luas. Melalui Subur Sembiring (SS),asumsi publik menangkap ada upaya memporak-porandakan Demokrat dari internal. Mulai dari pernyataan individu SS yang menyatakan kepengurusan AHY ilegal, hingga pertemuan SS dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) seolah menjadi psy war terhadap Demokrat.

Namun dari berbagai asumsi publik yang berkembang, tujuan menggoyang Demokrat dari dalam bukan bertujuan untuk menguatkan dukungan parpol bagi pemerintahan. Tapi, serangan itu dilakukan untuk mematikan langkah AHY yang kian hari semakin melejit seiring berbagai survei yang memasukkan nama ketua umum Demokrat itu dalam 5 besar pimpinan partai yang masuk bursa capres di 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun