Lihat ke Halaman Asli

Zuni Sukandar

Seorang guru SLB

Cerpen: Mbak Pur

Diperbarui: 15 Oktober 2022   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi hujan deras. (sumber: AFP via kompas.com)

"Aduh, Mbak! Kok anak-anak dibiarkan main hujan-hujanan, sih. 'Kan sudah kularang mereka keluar rumah? Apa nggak dengar kataku, sih? Harus berapa kali aku ngomong, hah? Nanti kalau masuk angin gimana, coba?" protes Bu Mila padaku dengan nada tinggi, saat melihat Nita dan Fani terlihat di halaman rumah menari-nari  tanpa pakaian selembar pun di tengah hujan yang begitu deras.

Kedua anak itu memang sering dilarang keluar rumah setelah pulang sekolah. Banyak temannya sering mengajak bermain, tetapi aturan di rumah itu diciptakan oleh Bu Mila. 

Fani dan Nita harus tunduk pada aturan ibunya, meskipun sebenarnya terlihat menderita. Anak sebaya usianya dengan bebas bermain di sekitar kampung, sementara keduanya hanya gigit jari memperhatikan teman-temannya lincah bermain.

Siang itu tiba-tiba hujan deras. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat air curahan langit itu mulai menyapa. Tiba-tiba pakaian mereka telah dilepas dan berlari ke halaman dengan gelak tawa yang sangat natural.

Saat pulang kerja, setelah meletakkan jas hujan di samping rumah, perempuan berumur tiga puluh lima tahun itu terlihat geram. 

Mukanya merah menahan amarah, sambil melihat kedua putrinya yang tanpa beban malah tertawa cekikikan mempermainkan air hujan yang membasahi sekujur tubuhnya. Kedua tangannya berkacak pinggang dan pandangannya tajam menatap kedua putrinya tanpa berkedip.

Aku Purwanti, perempuan sederhana saat ini tepat berumur dua puluh tiga tahun. Aku mengabdi pada Bu Mila sudah puluhan tahun, setelah lulus SD, karena faktor ekonomi. 

Bu Mila tipe perempuan perfek. Bukan sekali dua kali mendengar omelannya. Apalagi diriku menjadi asisten rumah tangga di rumah ini sudah lebih dari sepuluh tahun. Jadi,  suara Bu Mila yang alisnya tampak makin terlihat tebal saat marah bukan menjadi momok lagi.

Aku tidak segera menjawab kemarahan perempuan yang bekerja di kantor desa Kahuripan sebagai bendahara. Biarlah sampah-sampahnya semua keluar dulu sampai habis dan puas. Lagi pula jika aku berani menjawab kalimatnya, salah-salah malah tambah marah dan kena semprot.

Aku hanya berlagak diam, meski rasanya ingin segera menjelaskan duduk permasalahannya. Namun, niat itu diurungkan. Aku harus tahu diri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline