Lihat ke Halaman Asli

Zuni Sukandar

Seorang guru SLB

Perjanjian Keramat

Diperbarui: 9 Mei 2021   22:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku sudah bosan menjadi orang melarat yang setiap hari mendapat cibiran masyarakat. Aku pun bertekad menjadi orang sukses. Akan kubuktikan pada masyarakat bahwa aku yang orang desa, anak buruh tani pun dapat sukses dengan harta melimpah.

Akhirnya kuputuskan hijrah ke kota lain untuk mengadu nasib. Ternyata  hidup di kota tersebut tidak semudah yang kubayangkan. Lagi pula aku tidak memiliki saudara yang dapat kujadikan tempat curhat dan mengadu.

Nasib. Namun apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Aku pun harus mempertahankan tekadku kuat-kuat. Dengan segenap semangat dan tekad yang kini makin membara, aku berjuang keras di kota yang tidak pernah ramah itu.

Waktu  pun terus berjalan tanpa kompromi. Dua tahun aku mengadu nasib, tetapi belum memperlihatkan hasil yang dapat dibanggakan. Aku mulai goyah dengan keyakinanku sendiri. Saat aku termenung sendiri, seorang lelaki berkumis tebal mendekatiku.

"Mas, kulihat kau tampak kebingungan. Apa yang kau pikirkan?" tanya seorang lelaki setengah tua, dengan wajah berwibawa. Lelaki yang belum pernah kukenal itu seakan menghipnotisku. Segala kata-katanya seakan menjadi obat yang manjur bagi hidupku.

"Gimana, kau setuju tidak dengan penawaranku?"

Aku hanya mengangguk bagai kerbau dicocok hidungnya.

Waktu yang ditentukan pun disepakati. Lelaki yang kini kukenal namanya Mbah Yasa itu mengajakku ke suatu tempat yang belum pernah kukunjungi.

Suasana magis sangat terasa di tempat itu. Tekadku sudah bulat untuk menjadi orang yang cukup terpandang, kaya secara materi dan hidup nyaman. Jika nanti kembali ke desa orang tidak akan lagi menganggapku remeh sebagai anak buruh tani.

Pulang dari tempat yang ditunjukkan Mbah Yasa itu, hatiku makin mantap, karena sebentar lagi aku akan menjadi orang kaya. Tidak perlu bersusah payah mencari uang, cukup terlihat bekerja saja, pundi-pundi  uang akan segera mengalir.

Benar saja, sekitar sebulan kemudian, aku seakan merasa tidak percaya. Uang begitu mudah kudapatkan. Perlahan aku mulai mengubah penampilan. Tempat tinggalku pun sekarang sudah di wilayah perumahan  yang cukup elit. Susan, perempuan yang aku kenal beberapa waktu lalu, kini mau menjadi istriku. Mulanya Susan begitu merasa jijik denganku, tetapi sekarang, karena kekayaanku sudah melimpah, tanpa banyak menemui kesulitan, Susan sudah  di pelukanku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline