Lihat ke Halaman Asli

Zuni Sukandar

Seorang guru SLB

Hujan dan Harapan

Diperbarui: 20 April 2021   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pak,  terus gimana ya, untuk biaya hidup kita sehar-hari nanti? Bapak kan juga belum bisa kerja seperti biasa, sementara anak-anak butuh biaya sekolah dan ini itu?" keluhku pada Mas Tarjo,  suamiku yang sudah satu bulan ini hanya tiduran di kamar karena belum dapat bergerak.

Mas Tarjo, lelaki yang berpostur tinggi,  kurus yang bekerja serabutan itu lima belas tahun yang lalu menikahiku. Dari perkawinank ini  lahirlah tiga anak. Satu perempuan dan dua laki-laki. Usia anakku yang sulung baru empat belas tahun, dua adiknya masih berumur sepuluh dan tujuh tahun.

Dulu, keluarga Mas Tarjo memang termasuk  mampu, meski tidak terlalu kaya. Pak Naryo, bapak Mas Tarjo termasuk orang yang memiliki beberapa lahan sawah dan pekarangan luas. Namun, karena Pak Naryo suka berjudi, harta itu pun lambat laun habis menjadi taruhan di meja judi.  Aku dijodohkan  oleh Ibu, dengan Mas Tarjo karena masih ada hubungan saudara, meski agak jauh.

Orang tuaku berharap dengan dijodohkan, kami sedikit banyak sudah mengenal kepribadian masing-masing, karena ada hubungan family, dan menghindari konflik keluarga yang kemungkinan muncul. Mas Tarjo mempunyai kepribadian yang cukup baik, dan berpenampilan sederhana.

Semenjak wabah covid melanda negeri ini, penghasilan Mas Tarjo pun ikut terpengaruh.  Tidak banyak orang yang meminta jasa tenaganya. Dengan demikian, ekonomi keluarga pun ikut miring. Kas bon di warung dan tetangga pun makin banyak. Keluhan anak-anak yang kelaparan membuatku tidak tega. Sebagai orang tua, aku dan Mas Tarjo berusaha untuk  dapat mencukupi kebutuhan mereka, tapi apa daya, kondisi belum berpihak.

Aku dan Mas Tarjo menempati rumah warisan orang tua yang hampir semua sisi rumah minta diganti. Mulai dari atap rumah yang rusak, genteng bocor, kayu keropos, serta dinding rumah mengelupas. Masih berderet kerusakan rumah bila ingin didaftar, tapi mau tidak mau aku pun harus bertahan di rumah yang makin lama aus dimakan usia.

Untuk makan sehari-hari saja bagi keluargaku cukup sulit, apalagi memikirkan nasib rumah yang jika diperbaiki membutuhkan biaya tidak sedikit. Kata orang, memperbaiki rumah itu marai mremen, kaya omah kobong. Memperbaiki rumah itu merembet pada bagian lain, seperti rumah terbakar.

Sejak awal Oktober ini, hujan begitu rajin menyapa, tidak mengenal waktu lagi. Siang, malam, pagi, jalan, tanah tampak selalu penuh air. Banyaknya curah hujan menyebabkan rumahku pun terimbas. Atap dan genting terlihat mengalirkan air hujan ke dalam rumah. Semua perabot rumah yang dapat menampung air pun mulai memenuhi ruangan berukuran delapan kali sepuluh meter itu. Ember, panci, ember lonjong bekas  tempat memandikan anakku yang bungsu, semua berjajar rapi. Rumah malah mirip kapal pecah.

"Pak, ternyata banyak genting yang bocor. Besuk jika nggak hujan, mbok dibenahi. Masa setiap kali hujan harus ambil ember, panci, untuk menampung air hujan agar tidak ke mana-mana," sungutku pagi itu saat membereskan pekerjaan di dapur.

Mas Tarjo hanya melirik mendengar ocehanku yang tanpa jeda. Dia kembali melanjutkan aktivitasnya mengelap sepeda ontelnya yang setia menemani sejak puluhan tahun lalu.

"Pak! Kok diam saja, sih? Mbok jawab, ya, begitu!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline