Sapa mentari pagi ini cukup menyengat. Saat yang tepat untuk melemaskan otot berolah raga pagi. Semenjak ada wabah corona, rutinitas Ratna banyak berubah. Dia lebih banyak work from home seperti anjuran pemerintah.
Seperti biasa setiap akhir pekan, Ratna menyisihkan sedikit waktu untuk lari pagi di lapangan desa Sukamaju. Sepatu warna abu-abu berlis pink, dan baju trining warna senada dia kenakan. Tidak lupa masker kain warna hitam selalu menempel di wajahnya bila keluar rumah. Tas kecil berisi dompet , HP, dan air minum diselempangkan di bahunya.
Kali ini dia menargetkan lima kali putaran, tetapi baru sampai tiga putaran napasnya sudah ngos-ngosan. Dia lalu hanya berlari-lari kecil, malu pada janjinya yang tidak terpenuhi.
Beberapa orang baik tua, muda, laki-laki atau perempuan ramai memenuhi lapangan desa itu untuk berolah raga.
Ada satu wajah yang sangat dikenalnya, namun Ratna pura-pura tidak memperhatikannya. Bagus. Ya Bagus, seorang laki-laki yang lima tahun lalu pernah meninggalkannya begitu saja tanpa ada kabar berita. Ternyata dia telah dijodohkan oleh orang tuanya. Kini, Ratna harus bertemu dengan laki-laki yang telah melukainya, memutuskannya secara sepihak.
Ratna dengan santainya berlari kecil melewati Bagus yang berjalan santai sambil menggendong seorang bayi laki-laki, bersama istri tercinta.
"Maaf, permisi!"
"Ya, silakan," istri Bagus menjawab sapa Ratna.
Bagus merasa sangat kenal dengan suara itu. Dia ingat-ingat kembali. Susah payah dia mengobrak-abrik seluruh memori beberapa tahun yang lalu.
Ah, siapa sih? gerutu Bagus dalam hati.
Hm ... ya Ratna! hatinya bersorak gembira.