Lihat ke Halaman Asli

Zuni Sukandar

Seorang guru SLB

Hujan dan Kenangan

Diperbarui: 24 Maret 2021   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Harusnya aku tidak membenci hujan, karena tiap tetesnya merupakan anugerah terindah yang Allah titipkan.  Hujan bagiku bukan hanya merupakan sebuah kenangan, tapi juga penyesalan.

Aku terlahir lima bersaudara. Sebagai anak bungsu, aku tinggal bersama Ibu. Keempat saudaraku sudah menikah dan  tinggal di lain kota. Aku tinggal bersama Ibu,  menemaninya menghabisakan masa tua, setelah menjanda sekitar sepuluh tahun yang lalu.  Bapak meninggal karena sakit paru-paru.

Keempat saudara menitipkan Ibu padaku, karena dianggap mampu mengambil hatinya. Di rumah aku menekuni dagang online,  selain merawat Ibu. Sesekali keempat saudaraku menjenguk Ibu, saat liburan sekolah dan Idul Fitri.

Kunjungan terakhir, selain menjenguk Ibu, ternyata mereka berembug tentang masalah jodoh untukku. Sungguh aku sendiri merasa belum siap, jika harus menikah, karena  yang kupikirkan adalah Ibu. Dalam rembug keluarga itu mereka sepakat dalam waktu dekat menikahkan aku dengan kekasihku.

"Nduk, umurmu sudah cukup untuk menikah. Lagi pula Ibu semakin tua, jadi lebih baik kamu segera menikah. Jodoh kan sudah ada, tinggal mencari  waktu yang pas dan meresmikan."

"Ah, aku malah belum berpikir ke situ, Bu. Menikah kan nggak segampang membeli baju di toko. Dicoba, pas, ya sudah dibayar."

"Ibu mau ke mana, hujan-hujan begini?" tanyaku pada perempuan yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun yang lalu, sebagai anak bungsu.

Di tangannya telah terbuka sebuah payung lipat lusuh yang selalu digunakan jika bepergian. Sementara itu, tangan kirinya memegang tas yang berisi mukena. Setelah terdengar azan salat zuhur dari musala samping rumah, Ibu bergegas ke musala untuk salat berjamaah. Tidak peduli kondisi apa pun.

 Dalam hati aku bangga mempunyai seorang Ibu yang on time ketika melaksanakan ibadah salat. Aku sendiri belum bisa mengikuti jejaknya. Selalu saja ada alasan yang kusampaikan, meski Ibu selalu mengingatkanku.

Ibu menjawab pertanyaanku sambil tetap melangkahkan kaki tuanya ke arah musala sebelah rumah. Namun jawabannya apa aku sendiri tidak begitu paham, karena  suaranya yang lemah, kalah dengan guyuran hujan yang begitu lebat. Hanya jari telunjuknya menunjukkan arah menuju musala. Kakinya melangkah cukup hati-hati menapaki halaman musala yang luas itu. Baju gamisnya yang panjang  telah basah oleh air hujan  yang turun bersama tiupan angin.

Aku mengamati perempuan itu sampai bayangannya menghilang. Ada sedikit rasa khawatir ketika memperhatikan  Ibu menyusuri jalan menuju musala, karena halamannya banyak ditumbuhi rumput dan lumut yang  tumbuh lebat  sehingga menjadi sangat licin. Apalagi sekarang sedang musim hujan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline