"Bu, nanti setelah tujuh hari Bapak, terus gimana? Maksudnya Ibu di rumah bersama siapa? Aku kan nggak bisa bersama Ibu terus. Harus keluar kota untuk bekerja," rengekku pada Ibu.
Perempuan yang makin terlihat kurus itu memandangku dengan sorot mata tajam. Aku yakin beliau juga sedang berpikir bagaimana sebaiknya.
Sebenarnya aku sendiri tidak tega meninggalkan Ibu di rumah, karena kulihat perempuan itu akhir-akhir ini mulai banyak menyampaikan keluhan berkaitan dengan kesehatannya.
"Ya ... nanti Ibu pikirkan, Nak. Kamu harus tetap bekerja. Doakan Ibu saja agar tetap sehat, meski bayang dan kenangan bersama Bapakmu juga belum bisa hilang dari ingatan.
Ibu, perempuan yang sejak muda suka mendaki gunung itu seiring berjalannya waktu telah menggerus sebagian kesehatan dan fisiknya.
Rasa kehilangan Bapak yang baru satu minggu akibat sakit itu menyebabkan Ibu makin terpuruk dan banyak pikiran.
Sementara aku sebagai anak tunggal harus meninggalkan kedua orang tua, bekerja di lain provinsi, bahkan kadang ke luar negeri.
"Bu, secepatnya akan kuurus surat-surat yang harus dibereskan, agar Ibu tidak perlu ke sana-ke mari. Kasihan, capai, Bu."
"Terserahlah, yang penting semua berjalan lancar, tidak mengganggu aktivitasmu," jawab Ibu sambil membereskan meja kursi yang digunakan untuk tahlil tujuh hari Bapak.
Sebagai anak tunggal, aku merasa bertanggung jawab terhadap kenyamanan Ibu. Aku terlahir sebagai perempuan, hampir tiga puluh tahun yang lalu. Dalam usiaku yang sudah tidak muda lagi, tentu Ibu berharap aku segera mendapatkan jodoh.
Beberapa laki-laki yang kukenal baik telah kukenalkan pada ibu, tapi selalu kurang sreg. Terakhir aku kenalkan Mas Roy pada Ibu, Alhamdulillah ada lampu hijau. Artinya, kedekatanku pada Mas Roy mendapat restu.