Lihat ke Halaman Asli

Zuni Sukandar

Seorang guru SLB

Hadiah Gelang Emas

Diperbarui: 22 Oktober 2020   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap kali aku melihat perhiasan berupa gelang, ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu ketika bersekolah SD dan saat menjadi pengantin baru.

Ketika SD, saat istirahat pertama, seperti teman-teman yang lain, aku bermain di halaman sekolah. Siswa perempuan bermain beregu, permainan tradisional yang lebih banyak menggunakan fisik seperti berlari. 

Ketika tiba giliranku berlari, tiba-tiba salah satu anting yang kupakai jatuh. Untung saja aku mengetahui jatuhnya benda kuning itu. Aku menghentikan permainan itu, dan berlari ke kelas untuk mengambil kertas dan membungkus anting yang jatuh sekaligus melepas anting yang lain. Kusimpan rapi kedua anting itu di dalam tas sekolah. 

Sampai di rumah, aku sampaikan peristiwa di sekolah tadi pagi, meski ada rasa takut kena marah Ibu. Seketika itu juga langsung kuserahkan benda itu pada beliau. Aku nggak mau terbebani dengan logam kuning itu untuk selalu menjaganya.

Sebagai pengantin baru, aku diberi sebuah hadiah oleh kakak perempuanku, berupa gelang emas. Saya tidak paham beratnya berapa gram. Gelang bermotif kotak itu diberikan beberapa hari menjelang pernikahan.

Maksud kakakku mungkin agar tidak terlihat polos sekali. Maklum saja, kata kakakku, meski diriku seorang perempuan, tapi  tomboy. Temanku pun banyak yang laki-laki. Makanya kadang ada teman yang sering berkomentar  kepadaku, karena sikapku yang seakan tidak dapat membedakan mana lelaki spesial atau hanya sekedar teman saja.

"Kamu tuh, ya, mbok ya pintar bersikaplah. Harusnya kamu sudah dapat membedakan mana pacar dan mana teman," protes salah satu teman laki-lakiku yang sering melihat sikapku dalam bergaul yang dirasa kurang pas.

Aku pun kurang begitu paham apa maksud kalimatnya. Yang aku tahu, bahwa bersikap baik pada semua orang itu merupakan hal wajib dalam hidup.

Lama aku berpikir dan memahami kata-kata temanku tadi.

Apa aku salah dalam bersikap? Ah, entahlah, bikin aku bingung saja, pikirku dalam hati.

Beberapa hari setelah menikah, aku bermaksud jalan pagi bersama suami, sekaligus mengenal lingkungan baru tempat tinggal. Kupakai kaos lengan panjang warna abu-abu. Aku dan suami mengitari desa yang masih sangat alami, banyak sawah dan tumbuhan hijau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline