"Bu, ikut aku saja ya?" pinta Sumi pada Ibunya yang akhir-akhir ini sering sakit. Hampir tiap bulan kontrol ke dokter yang menjadi langganannya. Berobat kadang memang memberikan sugesti khusus bagi jiwanya. Meski hanya diberi semacam vitamin, tetapi bila telah berobat seakan separuh sakitnya sembuh.
Ibunya, Bu Sumirah, hanya terdiam. Mungkin belum punya jawaban yang pas untuk anak perempuannya yang hampir tiap hari menyambanginya pagi dan sore. Setiap pagi membawakan bubur atau nasi, dan menyeduhkan teh manis dan obat untuk Ibunya yang sekarang lebih banyak duduk di rumah saja.
Sumi tidak tega melihat Ibunya tiap hari harus ke sana ke mari mencari makanan untuk sarapan, makan siang atau makan malam.
Bu Sumirah yang telah ditinggal mati suaminya beberapa tahun yang lalu itu memang rumahnya dekat dengan anak laki-lakinya, tetapi kurang sreg karena menantunya kadang bersikap tidak menyenangkan.
"Mas, mbok ya Ibu itu sering ditengok, ya dilegakkelah, biar Ibu senang," pinta Sumi pada kakak laki-lakinya suatu sore setelah menemui Ibunya.
"Halah, kamu itu nggak usah sok pintar, sok paling tahu tentang Ibu. Kamu ke sini itu kapan? Aku yang tiap hari sowan Ibu nggak usah kau ajari sudah ngerti, wes gedhe tuwa kok," jawab Mas Yon ketus tidak mau kalah.
"Ya, wes. Aku ya sekedar mengingatkan saja, kok. Kasihan Ibu jika mencari nasi harus ke warung."
Sumi merasa agak tersinggung dengan sikap dan jawaban kakaknya, tetapi harus tetap bersabar dalam bersikap apalagi dia lebih muda usianya.
Sekali lagi Sumi tidak patah semangat mengajak Ibunya untuk diboyong ke rumahnya.
"Bu, gimana jika ke rumah saja. Di sana banyak temannya, jadi jika aku kerja tidak akan kesepian," rayu Sumi pada Ibunya agar mau diboyong.
Akhirnya Bu Sumirah menyampaikan keluhannya. Mungkin karena sudah terlalu berat beban di hatinya.