Kontrol diri sangat dibutuhkan peserta didik agar dapat mengendalikan emosinya dalam sehari-hari. Karena masih banyak ditemui peserta didik yang sulit mengendalikan emosi. Seperti marah dengan meluapkan kata-kata kasar maupun sampai ke pemukulan atau kekerasan terhadap temannya. Bahkan sering kita jumpai peserta didik melakukan perkelahian maupun tawuran antar pelajar. Hal tersebut terjadi dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar, emosi yang labil, tidak terima direndahkan temannya, bahkan sampai tidak mengetahui dampak maupun undang-undang yang berlaku dalam tindak kekerasan. Sehingga peserta didik seringkali meluapkan emosinya tanpa berfikir panjang, dari hasil observasi dapat dilihat sebab peserta didik emosional bisa dari faktor internal maupun eksternal seperti pola asuh orang tua yang juga keras atau sering main pukul dalam mendidik anak. Kemudian juga lingkungan pertemanan yang sering kali mendukung temannya untuk berkelahi maupun melakukan tindak kekerasan. Padahal tindak kekerasan diatur dalam undang-undang maupun aturan sekolah akan tetapi seringkali masih dilakukan peserta didik. Dengan dalih alasan untuk melindungi dirinya ketika di ejek maupun diganggu temannya, apapun alasan tersebut tetap saja tindak kekerasan tidak perbolehkan. Walaupun di sekolah maupun diluar sekolah masih sering dijumpai anak berkelahi, pemalakan bahkan premanisme.
Rendahnya pengendalian emosi peserta didik juga mempengaruhi hal tersebut. Seharusnya peserta didik belajar mengontrol dan menahan emosinya, tidak serta merta meluapkannya seketika itu yang justru akan berdampak lebih luas dan melanggar aturan yang berlaku. Tentunya merupakan perilaku menyimpang dalam kehidupan sehari-hari. Seolah-olah raga seseorang tidak ada harganya karena dipukul sesukanya tanpa merasa bersalah sama sekali. Bahkan di media berita kita juga tahu pernah ada kejadian kekerasan yang dilakukan peserta didik terhadap guru maupun sesama peserta didik tak heran sampai nyawa taruhannya.
Emosi adalah reaksi terhadap seseorang ataupun kejadian, kemudian juga bisa perasaan intens yang ditujukan pada seseorang atau sesuatu. Tentu emosi yang dimaksud disini yaitu perasaan marah yang diluapkan terhadap seseorang sehingga tidak dapat terkendali. Hal ini terjadi karena peserta didik memang pada masa atau fase remaja awal, yang ciri remaja awal memang cenderung suka coba-coba hal baru, tidak mau diatur akan tetapi masih perlu arahan, emosinya labil, baru senang-senangnya berkumpul dengan teman, dan cenderung tidak berfikir panjang dalam bertindak. Menurut Luthfia (2017) peserta didik sulit mengendalikan emosi, karena pengaruh internal perubahan jasmani, kematangan dan kecerdasan emosi yang kurang, kemudian pengaruh eksternalnya pola asuh orang tua, pengaruh lingkungan masyarakat, dan pengaruh media masa. Seperti youtube, game, tiktok yang menampilkan contoh yang tidak baik, apalagi di game yang menggunakan kata-kata kasar kemudian tembak-tembakan ataupun pemukulan yang manampilkan adegan berdarah juga.
Teknik Scaling dan Exception Question dari pendekatan Solution Focused Brief Terapy (SFBT) dapat menjadi alternatif solusi untuk pencegahan dan pengentasan dalam mengatasi masalah pengendalian emosi peserta didik. SFBT merupakan konseling postmodern yang menekankan pada kekuatan, sumber daya, dan ketahanan individu yang berfokus pada solusi. Peserta didik dianggap memiliki kemampuan dalam menentukan solusinya sendiri melalui pertanyaan pemantik dari guru BK. Karena itu sering juga disebut terapi berfokus solusi, oleh karena itu dalam konseling individu maupun kelompok diharapkan peserta didik dapat aktif dan terbuka dalam menceritakan masalahnya sehingga solusi-solusi yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah peserta didik terentaskan. Teknik Scaling question yaitu teknik penskalaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan skala dari rentang 1-10 terendah sampai tertinggi, sehingga peserta didik dapat mengetahui posisinya berada di posisi mana. Ketika peserta didik mengetahui berada di skala berapa kemudian peserta didik dapat memperbaikinya dengan meningkatkan skala tersebut. Sedangkan teknik exception question adalah pertanyaan pengecualian yang ditanyakan terhadap peserta didik yang memiliki masalah. Pengecualian tersebut seolah-olah ketika masalah itu tidak ada ataupun dirasa tidak muncul. Contoh pertanyaannya "Ketika situasi seperti apa anda tidak marah-marah dan meluapkan emosi". Peserta didik kemudian akan menjawab pernyataan-pernyataan yang nantinya akan menjadi solusi bagi peserta didik tersebut.
Guru BK maupun anggota kelompok yang lain memberi alternatif solusi yang sekiranya sesuai dengan masalah peserta didik, akan tetapi keputusan tetap pada peserta didik yang bermasalah apakah menggunakan solusi yang ditawarkan guru BK maupun anggota kelompok yang lain. Karena yang dihadapi masalah pengendalian emosi, diharapkan peserta didik dapat menahan diri atau kontrol emosinya ketika sedang marah. Caranya yaitu dengan melampiaskan ke hal-hal positif, seperti hobi maupun kesenangan. Melatih pendewasaan diri dengan mengetahui dampak dan akibatnya ketika sering emosi, Selalu berada dilingkungan yang kondusif agar tidak terpengaruh, membentuk keluarga yang harmonis, menenangkan fikiran lalu tarik nafas dalam-dalam dan keluarkan pelan-pelan, ketika ada maslah bisa cerita dengan teman, sahabat, keluarga atau guru, belajar untuk lebih bersabar, mencoba menerima keadaan ketika tidak bisa dikendalikan dan birfikir dua kali konsekuensi akan diterima atas tindakan yang diperbuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H