Diare merupakan kondisi terjadinya buang air besar dengan frekuensi 3 kali atau lebih per hari dengan konsistensi tinja yang cair. Masalah ini dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan parasit. Selain itu, faktor yang menyebabkan terjadinya diare yakni oleh karena kurangnya kebersihan diri(Personal Hygine) serta faktor lingkungan yang kurang bersih (sanitasi) (Sumampouw, 2017). Menurut (Yuliastati & dan Amelia Arnis, 2016) Diare merupakan keadaan dimana terjadinya peningkatan pengeluaran feses dengan konsistensi yang lebih lunak cenderung cair dari feses biasanya dengan kurun waktu terjadinya lebih dari 3 kali per 24 jam yang disebabkan karena infeksi enternal, infeksi parenteral dan faktor malabsorbsi.
Diare dapat menyebabkan seseorang mengalami kekurangan cairan yang pada akhirnya akan jatuh pada kondisi dehidrasi tentunya hal ini dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan segera. Mayoritas individu pasti telah merasakan penyakit diare dan Seringkali seseorang menganggap diare merupakan hal yang biasa terjadi, padahal penyakit ini dapat ber risiko fatal sampai dengan kematian jika dibiarkan begitu saja sampai ke tahap lanjut Namun penyakit ini memiliki kerentanan terhadap kelompok usia tertentu salah satunya seperti pada kelompok anak usia balita (bayi dibawah lima tahun) (Sumampouw, 2017)
Berdasarkan pengelompokkan usia, diare tersebar rata di semua kelompok usia dengan kejadian tertinggi jatuh pada kelompok usia anak balita (1-4 tahun) yaitu sebesar 16,7% dan jika di lihat dari segi jenis kelamin, prevalensi diare pada anak laki – laki 14,8% sedangkan pada anak perempuan 12,5% yang dapat dikatakan kejadian pada anak laki – laki cenderung lebih tinggi dibanding pada anak perempuan walaupun perbedaannya tidak terlalu signifikan (Pusdatin, 2011). Seperti pada penelitian oleh Fitriani et al., (2020) yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian diare pada balita. Beralih dari faktor jenis kelamin, berdasarkan pola penyebab kematian dari semua usia, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke 13 dengan proporsi 3,5% dan merupakan peringkat ke 3 setelah penyakit TB dan Pneumonia berdasarkan penyakit menular. Demikian pula penyebab kematian pada anak balita dalam rentang usia 12 – 59 bulan terbanyak disebabkan karena diare dengan persentase sebanyak 25,5 % sedangkan pneumonia 15,5%. Salah satu penyebab kasus kematian pada balita akibat diare dikarenakan penanganan yang kurang tepat. Hanya satu dari tiga anak yang menderita diare diberi oralit sebagai tindak lanjut penanganan diare, sedangkan persentasae anak yang menderita diare namun tidak mendapatkan pengobatan sama sekali yaitu sebesar 17% anak. Dalam hal ini, penanganan awal diare merupakan hal yang perlu diketahui oleh masyarakat terutama yang memiliki anak balita agar tidak jatuh pada tahap yang lebih membahayakan sampai terjadi dehidrasi.
Masalah diare terutama pada balita perlu dilakukan penanganan dengan segera, penanganan awal diare pada balita tanpa dehidrasi di rumah dapat dilakukan dengan memberikan cairan tambahan seperti peberian ASI yang lebih sering dan lebih lama pada setiap pemberian, berikan oralit atau air matang sebagai tambahan pada anak yang memperoleh ASI ekslusif, beri tablet zinc selama 10 hari (dikecualikan pada bayi muda), lalu ibu juga dapat lanjutkan pemberian makanan jika anak sudah makan dan jika terjadi perburukan kondisi pada anak, ibu perlu segera membawa anak ke sarana kesehatan terdekat untuk mendapatkan tindak lanjut yang memadai (Indonesia, 2018). LINTAS DIARE menganjurkan bahwa semua penderita diare harus mendapatkan oralit sebagai cairan yang harus diberikan pada setiap penderita diare dalam mencegah terjadinya dehidrasi. Selain itu, balita pun diberikan zink yang untuk mengurangi lama dan tingkat keparahan dari diare, mengurangi frekuensi BAB, mengurangi volume tinja serta mencegah terjadinya diare berulang pada tiga bulan berikutnya (Indonesia, 2021). Maka dari itu, perlunya memahami pencegahan diare pada balita agar tidak terjadi kejadian berulang.
Pencegahan diare pada balita dapat dilakukan melalui perilaku sehat dan penyehatan lingkungan. Upaya perilaku sehat yang dapat di lakukan yakni dengan pemberian ASI saja cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai berusia 6 bulan, pemberian makanan pendamping ASI yang di awali dengan makanan lunak ketika sudah menginjak usia 6 bulan, menggunakan air bersih yang cukup karena penularan kuman infeksius penyebab diare dapat ditularkan melalui fase oral ketika masuk ke dalam mulut melalui makanan / minuman / benda yang terkontaminasi sehingga perlu menjaga sumber air dari kontaminasi kuman penyebab diare, mencuci tangan menggunakan sabun memiliki peranan penting dalam penularan kuman diare karena berhubungan dengan kebersihan perorangan, menggunakan jamban sehat, membuang tinja bayi yang benar karena jika tidak dapat menjadi penularan penyakit baik pada anak – anak maupun orang tua nya serta pemberian imunisasi campak merupakan hal yang penting, karena jika anak terkena campak sering kali disertai dengan diare maka pemberian imunisasi campak menjadi salah satu hal yang dapat dilakukan dalam pencegahan diare pada anak. Lalu upaya penyehatan lingkungan dapat dilakukan melalui penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, sarana pembuangan air limbah. Pernyataan diatas merupakan hal yang dapat diterapkan dalam rangka pencegahan penyakit infeksius pada balita, karena mencegah lebih baik daripada mengobati.
Referensi
Fitriani, N., Darmawan, A., & Puspasari, A. (2020). Analisis faktor risiko terjadinya diare pada balita di wilayah kerja puskesmas pakuan baru kota jambi. November.
Indonesia, K. kesehatan R. I. (2018). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). kementrian kesehatan RI.
Indonesia, K. kesehatan R. I. (2021). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2020. kementrian kesehatan RI.
Pusdatin. (2011). Situasi Diare di Indonesia. kementrian kesehatan RI pusat data dan informasi kementrian kesehatan republik indonesia.