Lihat ke Halaman Asli

Untukmu Ibu: Penyesalanku Membuatku Lebih Mencintaimu

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apakah cita-citaku telah tercapai?Mungkin tak seutuhnya. Tapi hakikatnya impianku bisa terealisasikan bahkan ketika keluar SMA. Mengamalkan ilmu. Menjadi seorang guru di sebuah sekolah terpadu sampai menjadi wali kelas kelas 1 SMP. Senang sekali rasanya berada disekeliling anak-anak yang bersemangat seperti mereka.

“Zul, kelas 7D wali kelasnya siapa?” Tanya Ibu Evi.

“Itu tuh bu, yang lagi di depan layar laptop” jawab Sunny sambil menunjukku.

“Oh.. Ibu seneng ngajar disana. Anak-anaknya aktif” tutur guru matematika itu membuatku semakin bangga terhadap anak-anak didikku. Hal itu memang didapatkan dengan proses yang tidak mudah. Untungnya disini siswa berada di asrama sehingga aku bisa memantau mereka selama 24 jam. Namun tetap saja, dengan adanya kegiatan kuliah dan tugas-tugas dari sekolah membuatku harus bisa mengatur waktu untuk mereka. Meski lelah dan letih, semuanya sirna dengan canda dan tawa mereka.

***

Wajahnya tegang seakan takut. Namun aku tak mengerti, mengapa mereka berani melakukan kesalahan kalau mereka sudah tahu mereka akan mengalami hal seperti ini.

“Coba jelaskan, kenapa kalian berani-beraninya janjian dengan lawan jenis!” Tanya guru bagian pengasuhan kepada tiga orang anak di depanku ini.

Mereka pun menjawab dengan jujur apa yang terjadi sebenarnya. Hal yang tidak wajar dan bertolak belakang dengan peraturan di sekolah ini yang memisahkan siswa laki-laki dan perempuannya.

“Sekarang pakai kerudung ini selama 3 hari!” pinta bagian pengasuhan sambil memberikan 3 kerudung warna-warni. Kerudung yang menandakan bahwa mereka telah melakukan pelanggaran.

Kulihat air mata di pipi mereka. Mungkin dipikirannya, kenapa hal sepele ini harus diberi sanksi. Tapi, sebenarnya aku iri dengan mereka yang berbanding terbalik dengan keadaanku ketika seumuran mereka. Kehidupan bebas… Ah, aku tak mau mengingatnya lagi.

***

“Kamu udah tahu gak berita kalau anakmu itu majang foto bareng sama seorang laki-laki di facebook? Aduh, gak nyangka banget yah.. Makanya kalau ngajar tuh jangan cuma ngajar, tapi harus mendidik!”

Perkataan itu seakan membakar semua pengorbananku menjadi abu. Apakah ada yang salah dengan caraku mendidik anak-anak selama ini? Lalu harus bagaimana lagi yang harus aku perbuat untuk membimbing mereka?

Malam hari setelah anak-anak belajar aku panggil anak yang bersangkutan tersebut.

“Ada apa bunda?” Tanya Mia. Seorang yang ku kenal sebagai siswi yang cantik dan pintar kini berhasil membingungkan pikiranku.

“Kemarin udah pulang?”

“Iya bunda, abis check up ke dokter” jawabnya sambil menundukan kepala.

“Lalu ketemuan sama Riza?”

Mia terkejut mendengar pertanyaanku.

“Nggak bun, kenapa bunda nanya gitu?”

“Bunda punya buktinya kok” Ku perlihatkan ponselku dengan layar salah satu jejaring sosial. Sebuah foto terpampang jelas memperlihatkan dua anak manusia tersebut.

Aku menghela nafas sedalam-dalamnya.

“Mia.. Bunda dari awal sudah mengerti kalau Mia suka sama seorang laki-laki. Itu wajar. Tapi Mia harus jaga diri, jangan sampai melanggar aturan seperti ini.”

“Bunda.. itu bukan Mia yang upload foto itu!”Ujar Mia disusul dengan tangisannya.

***

Aku langsung memakai jilbabku dan menuju ruang tamu bagian pengasuhan. Kudapati seorang bapak yang beberapa menit lalu telah menungguku. Beliau adalah bapaknya Mia.

Anganku melayang dan tak sadar menatap sebuah cermin di samping meja kerjaku. Mengingatkanku pada sebentuk wajah yang empat tahun lalu selalu berekspresi seperti wajahku saat ini. Wajah yang penuh lelah dan rasa khawatir. Seketika itu aku langsung memanggil salah satu kontak di ponselku yang bernama ‘My Mother’.

“Assalamu’alaikum..” Kudengar suara lembut itu.

“Wa’alaikumsalam”

“Ada apa teh? Tumben nelpon?” tanyanya heran.

Memang selama ini aku merasa telalu sibuk dengan kegiatanku. Hanya sekadar bertanya keadaannya pun jarang aku lakukan. Yang ada hanya komunikasi ketika finansialku sedang berkurang.

“Mah, mendidik anak itu tidak mudah yah?” tanyakumengingat sikap sebagian anak didikku yang tak seperti yang akau inginkan.

“Sabar teh.. Tak semua anak itu baik. Mamah juga yang punya tiga anak beda-beda karakternya. Apalagi teteh yang membimbing 40 anak.” Jelasnya.

“Dari tiga anak mamah salah satunya aku yang bandel” ucapku.

“Dulu bandel, sekarang kan udah baik”

“Mah, maafin aku ya.. Suka gak nurut sama mamah. Sekarang akubaru sadar pengorbanan mamah selama ini. Ternyata gak semudah yang aku bayangkan.” Kataku dengan linangan air mata yang sulit untuk berhenti

***

Buah tak jauh dari pohonnya.. Rasanya kalimat ini yang sangat berpengaruh besar terhadap kekhawatiranku. Apakah karena kesalahan masa laluku? Sehingga Tuhan membalasnya dengan permasalahanku saat ini?

Pemberontakan dalam hati yang tak hentinya ku rasakan dulu. Tak habis pikirnya menghadapi pemikiran orangtuaku. Pengertian yang tak pernah ku dapatkan, membuatku terus saja mengikuti keinginanku.

“Kenapa sih mamah ngambek mulu kalau aku dianterin cowok. Orang lain mah malah seneng pada diajak jalan-jalan terus sama pacarnya. Lah ini, ada SMS dari cowok aja HP langsung di segel”

Kali ini aku hanya bisa tersenyum mengingat pemikiran polosku dulu. Tak bisa kubayangkan bila aku tak mempunyai seorang ibu seperti mamahku. Sikap tegasnya demi melindungi anaknya membuatku selamat dari pergaulan bebas yang kini dampaknya dirasakan pahit oleh sebagian temanku.

Satu keajaiban dalam hidup terasa kudapatkan oleh untaian doa-doanya yang tak pernah berhenti. Kesabarannya meluap pada jalan hidupku yang berubah 180 derajat. Lingkungan beragama kini telah berusaha menuntunku dan mencegahku untuk tidak tersesat lagi.

“Tok..Tok..Tok..!” Suara pintu kamar membuyarkan lamunanku.

“Silahkan masuk” pintaku.

Seorang gadis berkerudung warna warni masuk lalu merangkulku.

“Bunda.. Maafin Mia. Mia nyesel. Mulai sekarang Mia bakal nurut sama apa yang bunda bilang. Gara-gara ini semua belajar jadi gak konsen. Nilai-nilai Mia jadi nurun”

Layaknya kasih sayang seorang ibu, apapun yang terjadi pada seorang anaknya dia akan tetap mencintainya. Harapanku hanya satu. Mereka bisa menjadi generasi yang bermanfaat dan tangguh.

***

Tanganku kini tak lagi lengah dengan tangan kosong. Sebuah kerudung cantik yang telah terbungkus rapi berada di genggaman. Kususuri pemandangan indah dan tak sabar mataku berada di salah satu tempat dimana aku memulai kehidupanku. Dan yang tak kalah penting adalah setumpuk rindu kepada sepasang manusia beserta malaikat-malaikat kecil didalamya.

Ojeg yang ku naiki menurunkanku tepat di depan rumah bercat hijau muda. Ku lihat wanita separuh baya sedang menyapu halaman yang kotor oleh daun-daun berguguran dari pohon mangga.

“Hore.. Teteh pulang..!!” teriak anak kecil menghampiriku.

Sejenak wanita itu pun terhenti dari pekerjaannya. Terlihat binar matanya sebening kristalmemandangku berdiri.

Wahai ibu.. Inilah buah hatimu. Yang dulu sering menyusahkan dan takpernah mengerti akan semua nasihatmu. Demi kebahagiaanmu aku telah berubah. Menjadi seperti yang kau minta.

Tetes mataku muncul saat tangan lembut itu aku kecup. Dekapan hangat yangmenembus kedalam jiwa.

Mom I’m grown up now

it’s not too late

I’d like to put a smile in your face everyday

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline