Kasus tentang peristiwa merendahkan kehormatan hakim atau yang biasa dikenal dengan PMKH (Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim) sudah sejak lama terjadi di Indonesia. Namun hal ini terus saja terjadi, seperti yang dilaporkan dari siaran pers Komisi Yudisial yang menyatakan bahwa sepanjang Januari hingga Desember 2021, Komisi Yudisial telah menangani 13 laporan/informasi yang dianggap merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Seperti yang kita pahami bahwa hakim atau yang biasa disebut Yang Mulia memiliki peran sangat penting, yang menjadi tempat bergantungnya nasib bagi setiap orang yang sedang berperkara ataupun bersengketa di pengadilan. Peran yang berat ini menuntut para hakim agar bisa memutuskan sebuah perkara dengan seadil-adilnya. Namun dengan putusan hakim yang seadil-adilnya dengan begitu banyak pertimbangan, masih ada saja pihak yang tidak setuju atau merasa sangat dirugikan oleh putusan hakim tersebut, sehingga tak sedikit yang menyebabkan kekerasan terhadap Yang Mulia paska pembacaan putusan.
Kekerasan terhadap Yang Mulia inilah yang dikenal dengan PMKH. Untuk itu, Komisi Yudisial hadir sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam menjaga dan menegakkan kehormatan hakim. Sebagai penanganan kasus PMKH tersebut, berbagai hal telah diupayakan oleh Komisi yudisial, seperti sosialisasi kepada masyarakat, penyuluhan dan lain sebagainya. Namun kekerasan dan sejenisnya yang terjadi terhadap Yang Mulia hakim, masih terus saja terjadi, seperti yang dilansir pada pernyataan Kadafi dalam press conference Refleksi Akhir Tahun KY Tahun 2022, Rabu (28/12/2022) di Lobby KY, Jakarta "Advokasi hakim yang ditangani KY di antaranya kericuhan pasca pembacaan putusan perkara pembunuhan di PN Purwakarta, perusakan fasilitas ruang sidang di PN Yogyakarta, penyerangan fisik terhadap hakim di PA Lumajang, koordinasi pengamanan persidangan Bahar bin Smith di PN Bandung, hingga koordinasi pengamanan rangkaian sidang pembunuhan Alm. Yosua Hutabarat di PN Jakarta Selatan."
Jumlah penanganan laporan/informasi yang dilaporkan oleh Komisi Yudisial tersebut hanyalah segelintir kejadian perbuatan merendahkan martabat hakim di Indonesia. Jumlah laporan Kejadian yang merendahkan kehormatan atau martabat hakim tersebut tidak bisa dijadikan sebagai acuan bahwa kejadian merendahkan kehormatan hakim dalam peradilan sudah berkurang, sebab pada kenyataannya masih ada perbuatan merendahkan kehormatan hakim yang tidak sampai pada penanganan oleh Komisi Yudisial itu sendiri. Hal ini bukan karena Komisi Yudisial menutup mata soal kejadian merendahkan martabat hakim, namun justru tak sedikit hakim yang tidak menindaklanjuti tentang perbuatan tersebut.
Penulis berpendapat bahwa proses penanganan hukum terhadap PMKH inilah yang menyebabkan hakim selaku korban PMKH merasa tidak perlu melaporkan, sehingga oknum masyarakat yang masih saja menyebabkan PMKH tidak mendapati efek jera. Menurut penulis proses penanganan PMKH harus mempunyai sistematika tersendiri sehingga dapat membuat efek jera bagi pelaku, namun tidak mengganggu tugas-tugas perkara peradilan yang sedang ditangani oleh hakim.
Penulis berpendapat bahwa kasus PMKH yang terjadi ini bukan sepenuhnya karena masyarakat yang kekurangan advokasi dan edukasi tentang PMKH atau karena putusan hakim yang tidak adil dalam penanganan suatu perkara. Penulis berpendapat bahwa proses penanganan pelaku terhadap kasus PMKH yang menjadi kunci dari terus terulangnya kasus PMKH ini. Mengapa bisa demikian?, sebelum membuat tulisan ini, penulis mencari berbagai referensi tentang riwayat kasus penanganan PMKH di Indonesia, apakah sampai di penjara atau terkena denda. Mulai dari google schoolar sampai pada website berita nasional hingga lokal. Penulis tidak menemukan satupun berita yang menjelaskan tentang pelaku PMKH berakhir di penjara atau terkena denda.
Proses penanganan kasus PMKH inilah yang menurut penulis perlu benar-benar diperhatikan, berdasarkan pandangan penulis ketika seorang hakim mendapatkan perbuatan merendahkan kehormatannya, hakim bukannya tidak ingin melaporkan kejadian tersebut, hanya saja mereka tidak memiliki waktu untuk memperpanjang hal tersebut dan memilih untuk tetap diam. Maka dari itu, penulis mengusulkan agar proses penanganan pelaku kasus PMKH harus mempunyai sistematika tersendiri yang tidak mengganggu tugas-tugas hakim itu sendiri, sehingga tentunya dapat membuat efek jera dan membuat masyarakat luas harus berfikir dua kali untuk melakukan tindakan yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H