"Kami tidak tunduk pada pemimpin kami. Mereka harus mendapatkan rasa hormat kita."
Penjelasannya....
Rasa hormat terhadap politisi sangat kurang di zaman kita. Sebagian besar warga negara demokrasi kontemporer tampaknya bertoleransi, tidak menghormati penguasa yang mereka pilih. Apakah kita bermasalah dengan tidak adanya rasa hormat dalam politik? Haruskah politisi dihormati? Jika ya, bentuk penghargaan apa yang harus mereka dapatkan?
Menghormati arahan: egaliter.
Ide inti dari rasa hormat adalah sikap serius, keadaan pikiran, atau sikap tubuh yang mengalir dari penilaian yang sangat positif terhadap objeknya sebagai hal yang layak. Obyek itu layak dihargai. Ini tidak hanya dalam bahasa kita sebagai warga Boegis- Makasar (Taro ada Taro gau,. Bugis) dan Makasar ( Kuntu tojeng )
Tetapi juga dalam bahasa lain yang ada di jasad semesta. Dalam setiap bahasa, konsep ini juga memiliki banyak penjabaran, yang hampir semua di antaranya relevan di sini.
Satu pengertian yang bisa disebut 'penghormatan-direktif' dijabarkan oleh filsuf Jerman akhir abad ke-18, Immanuel Kant. Menghormati, baginya, memiliki kekuatan instruksi moral yang otoritatif, sebuah arahan. Mengapa? Kant memahami bahwa, dalam interaksi sosial mereka, manusia tidak pernah dapat sepenuhnya menghilangkan penggunaan satu sama lain untuk keuntungan pribadi.
Ketika saya mendapatkan mandat untuk menjadi ketua Pacarita di salah satu wanua, misalnya, saya mendekati ketua - ketua Dusun sampai desa pada wanua itu, bukan karena cinta, kasih sayang atau rasa ingin tahu tetapi dengan satu tujuan dalam pikiran - untuk memastikan bahwa partai ini tetap berjalan dan bergerak lebih maju untuk kedepannya.
Dan ketua Dusun, Desa ada di dalam rantai struktural misi gerakan pacarita untuk melakukan satu pekerjaan bagi mandati: memastikan misi pacarita. Kita semua - pengurus, anggota dewan pacarita, ketua Desa Pacarita dan dusun dusun dan Pendiri Pacarita - berhubungan satu sama lain sebagai instrumen untuk mencapai tujuan kita masing-masing: untuk gerakan bercerita raya, menciptakan penghidupan layak atau memenangkan kontestasi pemilu.
Namun, Kant juga berpendapat, meskipun ini mungkin terjadi, bahwa masing-masing juga harus diingat bahwa mereka adalah agen moral dengan tujuan yang berbeda, subjektif mereka sendiri mengambil dunia, dan kapasitas untuk memberkahi dunia dengan makna, tujuan dan nilai. Singkatnya, tidak seperti objek di dunia yang memperoleh nilai dari kita, kita manusia adalah pencetus nilai.