Deklarasi dan Selebrasi menghiasi kita usai Pemilihan Umum, ada yang deklarasi kemenangan, ada pula yang selebrasi kemenangan. Tapi semua itu tidak penting ketika kita kembali melihat kondisi kita sebenarnya. mungkin yang melakukan selebrasi sudah merasa di ambang kemenangan, atau deklarasi kemenangan dengan asumsinya.
Yang senang adalah pemenang setelah bertarung, tapi tidak bisa di pungkiri ribuan duka bagi yang kalah, tidak sedikit rumah sakit menyiapkan khusus bagi mereka yang gagal, tidak sedikit para guru spiritual yang siap membantu bagi yang tidak menerima kekalahannya. rumah sakit sedia bagi yang kalah, kursi panas menanti bagi sang pemenang, inilah politik mau tak mau harus siap.
Kita sudah belajar dari Pemilu ke pemilu, hampir setiap tahun perhelatan Pemilu Kepala Daerah berlangsung sejak 2015 secara serentak bahkan sampai Pemilihan kepala desa kita harus belajar bagaimana rumitnya pemilihan umum. benar rumit tetapi inilah jalan yang sudah kita sepakati bersama untuk kita tempuh sebagai jalur demokrasi.
Kita sudah sepakat. Jalan kedepan yang harus di tempuh adalah evaluasi setiap saat, belajar setiap saat, sebab hampir semua sisi kehidupan kita sekarang dibarengi dengan memilih, sebab kita tidak mau ada luka, sebab semua kampanye kita sepakat adalah "Pemilu sebagai Pesta bagi Rakyat". Lalu mengapa banyak yang sakit? bahkan Korban Bui, Korban Bully, Korban Hoaks, Korban fisik, bahkan sampai korban Jiwa? Dimana "PESTA" kita?
Kemarin media kompas memberitakan sebanyak 90 Nyawa Melayang/meninggal, 374 yang sakit dalam tugas pada saat "Pesta" mulai petugas KPPS/Panitia TPS sampai aparat keamanan. Miris melihat kondisi seperti inikah yang dinamai dengan "Pesta" wow fantastis.
Jika kita melihat kedalam sistem demokrasi pemilu kita pasti telah melakukan lakukan simulasi, percobaan, dan diskusi, sampai banyak penelitian, dan mungkin sistem kepemiluan kita juga sepakat bahwa ini adalah metode terbaik yang harus kita jalankan. Tapi akhir dari simulasi, akhir dari percobaan, akhir dari "pesta" adalah bencana.
Pesta Rakyat Bencana Nasional, Negara Lalai
Dalam Pesta negara harusnya riang dan gembira tidak ada kesedihan atau luka terhadap rakyat, tapi kita saksikan kelalaian negara kita dalam melaksanakan pesta. Ini adalah bencana nasional, ini adalah tragedi kelalaian negara dalam melindungi warga negaranya dalam menjalankan tugas. kita Ingat kasus kasus bencana alam, yang tidak direncanakan oleh Manusia berjatuhan korbannya, lalu bagaimana dengan Pesta kita yang memang kita rencanakan jauh sebelumnya dan bahkan legitimasi atas nama undang-undang Pemilu.
Jika kita mengacu pada undang-undang lain maka kelalaian negara bisa dilihat dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , maka jam kerja hanya 8 (delapan) Jam sehari, lalu bagaimana dengan Panitia TPS yang bekerja sampai 24 Jam? dan kenapa saya mengatakan 24 Jam? 24 jam yang saya maksudkan adalah persiapan sehari sebelum pemilihan, dari sore sampai selesai dan kembalinya logistik ke sentral setelah TPS, bahkan pemungutan suara dan perhitungan suara banyak berlangsung hingga 48 jam, lalu bagaimana dengan Honor, asuransi, dan perlindungan ketenagakerjaan? semua diabaikan
Lalai berikutnya adalah, sistem honorarium dan tunjangan, jika kita lihat kasus-kasus pemilu sebelumnya banyak anggota KPPS yang blokir pelaksanaan pemilu sebab tunjangan yang tidak pernah cukup, bisa di bayangkan kerja rodi 24 jam hanya dapat honor 300-700 ribu, dengan banyak kendala dan rumitnya pekerjaan mereka dan penulis sudah sampaikan sebelumnya pada tulisan Panitia Pemilu TPS /KPPS Lelah
Lalai selanjutnya bisa dilihat dengan perlindungan mereka tidak dijamin oleh negara, bisa dilihat dengan beberapa kasus pantia TPS di intimidasi, bahkan di aniaya oleh pihak yang tidak bertanggung jawab? lantas dimana perlindungan mereka? kenapa sampai terjadi jika memang perlindungannya dijamin?