PEMILIHAN Langsung Kepala Daerah (Pilkada) 2024, November nanti, telah membuat banyak orang berada dalam situasi tak nyaman, terbelah dalam fanatisme pendukung, terkotak-kotak, rasa saling curiga, saling sindir, tuding, bahkan fitnah. Tidak hanya pendukung pasangan calon, bahkan seorang Penjabat (Pj), kepala daerah, akan beresiko menerima serangan dituding tidak netral.
- - - - - - - - - -
Pagi ini di ruang sarapan hotel, saya duduk sendiri di kursi makan. Meja sebelah dipenuhi tamu lain, semua asyik berbincang berbagai hal, karena sendiri saya tak punya kawan bicara. Dekat kolam renang, sebuah meja berisi tamu dari kementerian, juga terdengar serius membincangkan topik utama pembangunan daerah. Pria berbaju merah, dengan topi biru duduk tepat di pojok, saat wajahnya beralih ke saya, senyumnya ramah. Sepertinya saya pernah bertemu entah dimana, mata kami bertemu dan ia senyum, sembari menunduk, spontan saya ikut menunduk dan membalas senyumnya. Akan tetapi sarapan pagi lebih menggoda, maka saya kembali melanjutkan sarapan. Rombongan di meja itu mulai bergegas rupanya mobil jemputan sudah datang. Semalam memang terdengar sirene Voorijders polisi meraung mengawal bus para tamu dari Jakarta itu.
Tamu yang akan menuju mobil menyebutkan kata, "Permisi pak Bupati, kami mau jalan dulu." Usai ditinggal tamunya, pria bersahaja topi biru berbaju merah dan disapa bupati itu, terlihat berdiri, cangkir sisa kopinya diletakkan tepat di meja tempat saya duduk. Maka saya bangkit dari duduk, meraih ulur tangannya, rupa-rupanya pak Pj Bupati Bantaeng, Andi Abubakar saat ini menjabat Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) Kearsipan dan Sertifikasi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) ingin kami salam komando, pria di meja sebelah berdiri meminta ponsel saya, dan jadilah kami berdua difoto seperti pasangan calon di Pilkada. "Sombere" demikian kata orang Makassar, menggambarkan pribadi Andi Abubakar. Sekalipun kami tak saling kenal, beliau mau mampir di meja saya.
Saya tak memperkenalkan diri, pak Pj bupati, juga tak bertanya saya siapa?. Momen singkat itu terasa penting, kami tiba-tiba akrab, terutama saat saya menyampaikan kepada beliau agar tetap tenang dan fokus mengawal Pilkada Bantaeng. "Pak bupati harus kuat berdiri di garis tak berpihak." Dijawabnya dengan sigap "Setuju pak, insya Allah saya akan menjaga amanah," ujarnya, menimpali pesan saya. Dalam hati saya tersenyum, memangnya saya ini siapa kok berani-beraninya menasihati bupati soal netralitas. Tetapi saya merasa tidak asing dengan pak Pj, aura beliau sangat positif, terbuka dan mau diajak berbicara. Sesaat kemudian kami berpisah karena ajudan sudah menunggu pak Pj depan pintu keluar ruang makan hotel.
Saya alumni 'sekolah' bernama FAJAR, di institusi itu ada 'kalimat pagar' merawat spirit profesional murid-muridnya bernama wartawan. "Bijak di garis tak berpihak." Adalah tagline atau semboyan, juga sekaligus jargon, karena tak pelak ada saja 'murid nakal' kerap melanggar batas semboyan itu. Ada yang partisan (ikut bermain) atau juga mendukung secara terbuka, saat even Pilpres, Pilkada, juga Pemilu Legislatif. Tetapi ketika dikritik, saya berkelit dan berkata, "Kami berpihak bukan karena mereka membayar iklan, tetapi program atau visi misinya layak dan baik." Seringkali jika terdesak, beberapa berkelit dengan jawaban, "Hubungan persahabatan tidak boleh terhalang." Suatu saat di Pilkada, saya ketahui calon yang maju gemar pelihara preman, maka saya terang-terangan mengatakan, "Visi misi anda bagus, tetapi harus saya katakan, jadi jelek karena anda memelihara preman."
Pak Pj bupati harus jadi wasit yang baik, netral dan jujur, tak ada salahnya memakai slogan sekolah FAJAR, agar tetap bijak di garis tak berpihak. Sudah menjadi takdir, mereka yang ditunjuk menjadi wasit, hakim garis, atau juri, selalu terjebak pada godaan berpihak. Mengapa Rasulullah Nabi Muhammad, selalu mengingatkan agar seorang muslim jangan bersikap tidak adil, kepada siapapun. Kalau figur itu baik, kita harus berani mengatakan baik, sebaliknya jika salah jangan takut menyampaikan dimana letak salahnya. Kita terkadang munafik, karena takut maka sekalipun salah kita tetap benarkan. Bahkan sebaliknya jika benar, kita paksa untuk mengalah. Saya berasumsi semua Pj bupati, gubernur, pastilah memiliki dua kesulitan, berpihak salah tak berpihak juga bisa disalahkan. Untuk kalimat terakhir itu, saya pikir semua Pj pasti bisa memaknai. Salam akal sehat.
Bantaeng, 4 September 2024
Zulkarnain Hamson
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H