Lihat ke Halaman Asli

Zulkarnain Hamson

Dosen Ilmu Komunikasi

Pluralitas

Diperbarui: 17 Agustus 2024   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto dokumentasi pribadi

"Politik adalah konflik tanpa kekerasan." 

--Hannah Arendt--


KEHIDUPAN kita ini, tak pelak sedang berhadapan dengan krisis kebenaran dan fakta, demikian dikata Hannah Arendt, puluhan tahun lalu ia menuliskan kepada kita tentang ancaman terhadap kebenaran dan fakta dalam politik, terutama propaganda diera totaliter. Meningkatnya fenomena "post-truth" atau era pasca-kebenaran, fakta sering diabaikan atau diselewengkan demi narasi politik, pemikirannya tentang pentingnya kejujuran dan transparansi sangat relevan untuk memahami tantangan riil bagi demokrasi saat ini.

- - - - - - - - - - - - -

Arendt menekankan pentingnya pluralitas dan keberagaman dalam politik, di mana masyarakat harus menerima perbedaan sebagai bagian dari dinamika kehidupan bersama. Ini berkaitan dengan isu-isu kontemporer seperti multikulturalisme, politik identitas, dan konflik sosial. Arendt adalah seorang filsuf dan teoretikus politik Jerman dikenal karena karyanya dalam bidang totalitarianisme, kekuasaan, politik, dan sifat dasar kebebasan serta tindakan manusia. Adalah salah satu pemikir paling berpengaruh pada abad ke-20. Lahir di Linden, Jerman (Hanover) pada 14 Oktober 1906, belajar filsafat di Universitas Marburg di bawah Martin Heidegger, dan kemudian melanjutkan studi dengan Karl Jaspers di Universitas Heidelberg, disertasinya tentang konsep cinta.

Tahun 1933, Arendt melarikan diri dari Jerman saat NAZI berkuasa, tinggal di Prancis. Amerika Serikat menjadi tujuan akhir pelariannya, dan pada 1941, Arendt menjadi seorang akademisi dan penulis terkemuka, mengajar dibanyak kampus termasuk "University of Chicago" dan "The New School" di New York. Mengapa saya memilih Arendt, karena ada dua gagasan penting titipannya, yakni pluralitas (keberagaman) dan fakta. Sekalipun sangat ironis, sebagai Yahudi dan musuh NAZI, gagasannya itu tidak serta merta membuat Zionis mengadopsi, memakai dan menerapkannya, agar bisa berlaku adil, jujur dan manusiawi pada penolong mereka di tanah Palestina, dari kejaran pasukan NAZI.

Disertasinya tentang cinta, melahirkan kalimat pembuka di atas 'politik tanpa kekerasan' boleh jadi itulah yang menginspirasi banyak pemikir dan lahir istilah 'politik adalah seni mencapai cara'. Apakah saat politik 'menumpahkan darah' masih bisa dikata seni?. Beberapa waktu lalu di grup WhatsApp seorang pendukung (tim sukses) pasangan calon, menumpahkan emosinya, mencaci maki beberapa orang termasuk saya. Sebagai tim sukses dirinya telah menjelma menjadi 'predator' melihat semua yang berbeda pendapat adalah musuh. Alhasil dia tertancap benda tajam oleh musuhnya dalam tahap kampanye, untung saja nyawanya terselamatkan. Lucunya lagi, di pemilihan berikutnya dia beralih dukungan.

Politik telah disusupi kekerasan verbal dan fisik. Tidak sedikit mereka yang mengais nafkah dalam dunia politik menghalalkan banyak cara, untuk mencapai tujuan kekuasaan, bukan kepemimpinan. Mengapa orang tak bisa menghargai perbedaan?. Mengapa perbedaan selalu diletakkan dalam porsi kontra (musuh), bukankah perbedaan pemikiran itu rahmat. Mengapa setiap gagasan berbeda selalu di letakkan pada perlawanan dan bukan perspektif?. Mengapa pendapat dan argumentasi berbeda selalu dilihat sebagai ancaman?. Jawabannya tentu beragam, tetapi yang pasti pelakunya kurang ilmu (wawasan). Mereka yang disiplin dalam belajar, akan sampai pada derajat kearifan, di atas itu ada kata bodoh. Einstein mengatakan, "semakin banyak membaca, semakin saya sadar, betapa bodohnya saya."

Saya ingin mengatakan "Politik dan kekerasan itu adalah saudara tiri, politik dan kasih sayang, adalah saudara kandung." Pluralisme mengajarkan kita arti perbedaan, karena membuat kita berwawasan. Dalam bukunya berjudul; "The Human Condition" terbit 1958, Arendt mengeksplorasi sifat aktivitas manusia, membagi tindakan manusia menjadi tiga kategori: labor (kerja), work (karya), dan action (tindakan), dengan penekanan pada pentingnya tindakan dan kebebasan dalam kehidupan publik. Buku tua itu menunjukkan bagaimana manusia dan kesadaran diri, lingkungan dan perilaku politik. Semua gagasannya tetap hidup, bahkan di era digital, mengajarkan kepada para jurnalis dan pemilik media, bahwa suara tunggal (totalitarian) hanya ada dalam kamus manusia purba. Begitu barangkali.

Makassar, 10 Agustus 2024
Zulkarnain Hamson




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline