Lihat ke Halaman Asli

Zulkarnain Hamson

Dosen Ilmu Komunikasi

"Penyakit Kronis" Demokrasi

Diperbarui: 25 Juli 2024   16:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PAKAR politik dan demokrasi, tengah sampai pada persimpangan untuk mengevaluasi konsensus 235 tahun, pemakaian demokrasi, dimulai tahun 1789, ketika Konstitusi Amerika Serikat (AS), salah satu dokumen dasar demokrasi modern. Demokrasi bukan maha karya tanpa cacat, demikian ujar Abraham Lincoln. Demokrasi telah mengalami proses 'daur ulang' bermutasi, pada lokus hidupnya, dengan pengaruh geopolitik beradasarkan geografis, dan budaya masyarakat tempat hidupnya.

----------

Sebaiknya kita serahkan saja pada ahlinya untuk tekun membedah lebih jauh 'penyakit' kambuhan ideologi demokrasi itu. Benarkah "Government of the people, by the people, for the people?" seperti kata Lincoln. Teks media yang saya baca sebagai pemerhati disiplin komunikasi (baca: media) juga dalam kaitan sejumlah penelitian skala lokal, pada Sulawesi Selatan dan Tengah, terakhir di Morowali Utara, sebelum berlangsungnya Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif dan Pemilu presiden 2024, menemukan sejumlah data analisis yang patut terus dikembangkan dalam penelitian lanjutan, dengan fokus dan lokus yang tentu berbeda.

Mengutip ucapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan; bahwa media memiliki peran penting dalam membangun demokrasi. Media ikut membangun 'check and balance', dan memperkuat partisipasi warga. Karena itu, kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan responsif, transparan, dan akuntabel. Kalimat ini jadi penting, karena diucapkan Presiden Jokowi, padahal sebelumnya ada ratusan ahli politik dan demokrasi dari dunia  akademik, sudah lebih dulu mengatakannya secara terperinci. Tetapi saya menduga 'penyakit' lama demokrasi selalu 'awet', virus yang menggerogoti demokrasi juga bermutasi sesuai zaman.

Setidaknya terdapat dua wacana media yang dominan dan sangat mewarnai memori publik, pertama; figur (nama tokoh), kedua; partai yang akan mengusung. Penyakit pertama muncul, publik belum terwakili. Apakah benar tokoh dan partai representasi keinginan publik?. Benarkah proses mekanisme substansial kelahiran pemimpin terpenuhi, atau hanya bersifat administratif. Adakah  tahapan uji publik pada kredibilitas calon, juga putusan partai untuk mengusung?. Benarkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) diberi kewenangan lebih untuk membantu publik menelisik syarat normatif dan adminstratif bakal calon?. "Semakin kesini semakin kesana" pertanyaan akan terus bertambah.

Dalam beberapa naskah akademik, demokrasi di era digital digambarkan menghadapi risiko utama diantaranya; a) Disinformasi dan Misinformasi: Penyebaran informasi palsu melalui media sosial dapat memengaruhi opini publik dan mengganggu proses demokrasi; b) Manipulasi Pemilih: Algoritma media sosial dapat digunakan untuk menargetkan pemilih dengan konten mempengaruhi preferensi politik mereka; c) Keamanan Siber: Serangan siber pada sistem pemilu dapat mengganggu integritas dan kepercayaan terhadap hasil pemilu; d) Polaritas dan Ekstrem: Media sosial cenderung memperkuat pandangan ekstrem dan memecah masyarakat; e) Privasi dan Pengawasan: Data pribadi warga dapat digunakan tanpa izin untuk tujuan politik, termasuk pengawasan oleh pemerintah atau pihak ketiga.

Memotret demokrasi melalui Pemilu lokal (Pilkada) seperti penelitian saya beberapa tahun lalu, akan bisa memberikan gambaran karakter pemilih. Juga perilaku Parpol pengusung. Ada garis bawah penting untuk kita renungkan, Pilkada telah diberi label "pertarungan uang" isu itu dalam wacana media dibingkai secara berbeda pada masyarakat dan Parpol. Kalau di Parpol kita lazim mendengar istilah "uang pintu" nilainya miliaran tergantung kualifikasi Parpol. Kalau di masyarakat kita kenal istilah "money politics" (jual beli suara pemilih), hal berbeda tentunya dengan 'cost politics' (biaya kampanye) namun kerap jadi tempat 'sembunyi' anggaran besar untuk kepentingan money politics. Sekalipun laporan dana kampanye tetap harus disesuaikan dengan ketentuan undang-undang.

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, menulis buku "How Democracies Die," membahas bagaimana institusi demokrasi dapat dilemahkan dengan kehadiran pemimpin otoriter. Keduanya juga mengkritik pemilu yang tidak memberikan pilihan nyata kepada masyarakat. Levitsky dan Ziblatt juga banyak ahli lain melihat bahwa di negara-negara dengan rezim otoriter atau di mana demokrasi sedang terkikis, media sering kali menjadi salah satu institusi pertama diserang dan dikendalikan. Monopoli informasi terjadi pada beberapa negara, calon usungan pemerintah mencoba memonopoli informasi dengan menutup akses media bagi pesaingnya. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa warga negara hanya mendapatkan informasi yang telah disetujui atau yang bagus-bagus saja.

Penciptaan media palsu, digambarkan bahwa institusi maupun pribadi dapat mendirikan media palsu atau situs web berita yang sekilas tampak independen tetapi sebenarnya dikendalikan untuk menyebarkan propaganda dan informasi palsu atau yang hanya menguntungkan. Manipulasi sosial media, juga menyadari media tradisional, pola penggunaan media sosial untuk menyebarkan propaganda, memantau warga, dan menyerang lawan politik. Ini termasuk penggunaan bot dan troll untuk mengganggu percakapan online menyebar disinformasi. Apakah telah terjadi mekanisme uji publik?, benarkah bakal calon itu layak?. Saat ini yang marak dalam teks media isu "kotak kosong". Mari kita nikmati demokrasi varian baru ini, jangan lalai karena virusnya juga bisa bahaya.

Panakkukang, Makassar, 24 Juli 2024

Zulkarnain Hamson

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline