SEJARAH ini dimulai zaman pendudukan Belanda atas Nusantara (Indonesia belum lahir). Namanya "Peneng", yang berasal dari bahasa Belanda, "Penning." Beberapa daerah memiliki sebutan lain; "Plumbir." Keduanya memiliki arti yang sama, yaitu iuran (Pajak). Penguasa menilai sepeda sebagai moda transportasi pribadi sehingga pemilikinya wajib dikenakan "Peneng", termasuk anak sekolah.
- - - - - - - - - - -
Pajak dipelopori penguasa 'miskin' yang tak punya uang dan gemar membebani rakyat. Seperti halnya kolonial karena mereka miskin dan gemar korup dan berfoya-foya maka rakyat di koloni jajahan jadi 'sapi perah'. Negara yang pemerintahnya bermoral sebaliknya, mereka mengolah kekayaan bumi dan air untuk kesejahteraan rakyat, dan pajak jadi barang 'haram' (dihindari) karena menyusahkan rakyat dan memicu pemberontakan.
Sejarah pemberontakan karena pajak di Nusantara banyak dicatat dalam lembar sejarah. Ahli sejarah dan budaya Idwar Anwar pandai menuturkan kisah itu, saya menjadi murid dan pendengar yang baik, sesekali saya protes kalau kopi lambat keluar.
Inggris saat jaman kolonialisme pernah menelan pil pahit, akibat pemberontakan Suku Maori di Selandia Baru. 'Genit' mau banyak pungutan, pemerintah kolonial Inggris memajak Anjing. Suku Maori diwajibkan membayar pajak atas kepemilikan hewan peliharaan mereka. Peristiwa 1898 itu kemudian dikenal dengan nama 'Tax Dog War' rakyat Maori mengamuk. Tentara Inggris dikejar dan diselesaikan secara adat. Tahun 1909 di Inggris lagi, para perempuan membentuk liga perempuan, mereka protes karena dikenai pajak properti, sedangkan dalam pemilu hahak politik mereka tidak ada. Kerajaan Inggris mengalah dan perempuan mereka diberi hak memilih pemimpin, Liga itu dibubarkan.
Dalam era modern, pemogokan bisnis Ethiopia, 2017, juga dicatat sejarah. Bisnis di Addis Ababa, Ethiopia, dan kota-kota terdekat mogok pada Juli 2017 untuk memprotes kenaikan pajak pada usaha kecil. Warga juga mulai "memposting gambar infrastruktur publik yang rusak seperti jalan, sekolah, dan rumah sakit di media sosial untuk menunjukkan bahwa pajak yang dikumpulkan hanya digelapkan, alih-alih digunakan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat." Lebih dari lima ratus pedagang dipenjarakan di Bahir Dar karena menolak membayar pajak, dan banyak lainnya menutup toko mereka daripada membayar pungutan tak masuk akal yang hanya dikorupsi pejabat negara.
Laburosso, kalau memimpin hanya pandai menarik pajak, urusan rakyat sejahtera atau susah itu belakangan. Di Jawa, sejarah pemberontakan akibat pajak naik tinggi pernah terjadi. Dalam buku "Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang (2019)", sejarawan Ong Hok Ham menulis Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa Thomas Stamford Raffles (1811-1816), merupakan penguasa Barat pertama yang meletakkan dasar finansial negara kolonial. "Konsep pajak dilahirkan olehnya," tulis Ong. Sebelumnya, dari zaman raja-raja, "Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)", hingga memasuki pemerintah kolonial Hindia Belanda, memang telah ada berbagai pengutan pajak. Namun jauh sebelum kolonial Belanda masuk, pajak sudah diterapkan oleh raja-raja Nusantara.
Menurut profesor sejarah Universitas Amsterdam dan peneliti senior KITLV, Peter Boomgaard, hingga tahun 1800 pemerintah kolonial menerapkan rupa-rupa pajak, seperti pajak bumi yang dibayar berupa padi; pajak pasar; pajak hasil pekarangan; pajak bangunan yang disebut "grabag, petek, atau plawang; pajak penjualan; serta pajak tidak tetap yang harus dibayar untuk pesta." Saya menatap sepeda berkarat di depanku, ia pernah menjadi saksi sejarah, saat masih mengkilap dulu.
Dikenal lotjis atau pajak, karena memang era itu pemilik sepeda adalah orang kaya. Kedudukan sepeda seperti mobil mewah, rakyat kebanyakan hanya naik kuda atau dokar. Kita memang harus terus mengingat sejarah kata Presiden Sukarno, "Jangan melupakan sejarah (Jasmerah)".
Sengkang, Wajo Sulsel, 7 Juni 2024
ZH
Penikmat Sepeda Onthel