Lihat ke Halaman Asli

Pengembangan "E-Governance" pada Organisasi Pengelola Zakat

Diperbarui: 13 Januari 2018   09:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: egov.eletsonline.com

                                                                                                                  

Kondisi perekonomian Indonesia

Laporan profil Kemiskinan di Indonesia versi BPS pada maret 2016 mencapai 10,68 persen dari total penduduk Indonesia. Walaupun anka ini turun 0,3 persen dari tahun lalu, namun setidaknya masih terdapat 28,01 juta penduduk Indonesia yang memiliki penghasilan dibawah garis kemiskinan menurut BPS yaitu Rp 354.386 per kapita perbulan. Jika pengukuran dilakukan dengan standar batas kemiskinan global yang dikeluarkan oleh Bank Dunia yaitu setara dengan USD 1,9 perkapita perhari maka angka kemiskinan dipastikan akan jauh membesar secara signifikan.(1)

Angka diatas menjelaskan kondisi perekonomian Indonesia yang masih rendah kesejahteraan masyarakatnya. Jika dilihat dari besaran penghasilan yang dijadikan standar oleh BPS yaitu Rp 354.386 per kapita perbulan dalam penentuan garis kemiskinan, jika dilogikakan angka tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dihitung per bulan dengan harga pangan dipasar.

Peran zakat dalam perekonomian

Dalam sejarah zakat menjadi instrumen sumber pendapatan negara dalam mensejahterakan masyarakat. Selain ini memang kewajiban bagi setiap muslim yang memiliki harta yang telah mencukupi nishabnya namun manfaat ini dapat mensejahterakan masyaraknya. Konsep yang diterapkan pada masa khlifah Abu Bakar As-Shiddiq dalam kebijakan zakat adalah konsep balancebudget policy, yang mana seluruh pemasukan pada baitul maal langsung didistribusikan dan ini akan berimpikasi pada peningkatan pendapatan masyarakat (2). Laporan keuangan baitul maal pada saat itu masih sangat terbatas belum ada perkebangan tentang pencatatan sebagaimana mestinya yang dilakukan oleh para akuntan dalam penulisan laporan keuangan. Namun transparansi yang dilakukan pada masa Abu Bakar ini dengan konsep balance budget policy sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dalam pengelolaannya dan pendistribusiannya.

Asumsi pertama peran zakat terhadap perekonomian adalah ketika bantuan zakat diberikan kepada mustahik dalam dalam bentuk konsumtif, maka ini akan meningkatkan daya beli mustahik dalam pemenuhan kebutuhannya. Peningkatan daya beli ini akan berpengaruh pada produksi dan ini berarti bahwa produksi perusahaan akan semakain bertambah dan jika produksi bertamabha maka akan membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak lagi sehingga dapat mempengaruhi jumlah pengangguran. Disisi lain ketika produksi sebuah perusahaan meningkat maka pajak yang dibayarkan perusahaan juga akan meningkat. Apabila penerimaan negara bertambah maka negara akan mampu untuk meningkatkan pembangunan negara seperti menyediakan sarana dan rasarana untuk pembanguna dan juga akan mampu dalam menyediakan fasilitas publik untuk masyarakat.

Asumsi kedua adalah ketika zakat yang diberikan kepada mustahik dalam bentuk modal usaha, maka ini akan menjadikan mustahik yang mandiri. Ketika modal usaha yang diberikan kepada mustahik sudah berkembang dengan baik maka akan dapat menjadikan mustahik sebagai muzakki. Perubahan keadaan mustahik menjadi muzakki menjadi pengaruh besar terhadap negara karena kesejahteraan masyarakat meningkat dalam hal ini berarti zakat dapat menjadi pengentasaan kemiskinan. Ketika mustahik mengembangkan usahanya secara efektif dan efisien maka ini akan meningkatkan daya produksi. Jika jumlah angka kemiskinan negara berkurang maka pertumbuhan perekonomian negara semakin meningkat.

Asumsi-asumsi tersebut jika dapat dioptimalkan dalam penerapannya maka akan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat dan juga dapat mengurangi jumlah kemiskinan yang ada. Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan pada organisasi pengelola zakat dibutuhkan peningakatan dalam hal transparansi dan akuntabilitas lembaga tersebut. Transparansi dan akuntabilitas pada lembaga menjadi pengaruh besar terhadap kepercayaan masyarakat. Dalam pengembangan lembaga non profit seperti lembaga zakat ini akan sangat membutuhkan transparansi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi loyalitas masyarakat terhadap suatu lembaga adalah adanya transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat yang telah menyalurkan dana zakatnya kepada suatu lembaga akan merasa aman ketika mengetahui kemana dana yang disalurkan itu akan didistribusikan.

Pengembangan E-Governance pada organisasi pengelola zakat

Menurut Sachdeva E-Governance adalah penggunaan teknologi  informasi dan komunikasi untuk mendukung good governance. Sedangkan menurut Nurhadryani e-governance memiliki dua elemen penting 'governance' sebagai konsep utama dan 'electronic' atau ICTs (Information and Communication Technologies) sebagai alat untuk meningkatkan proses governance.(3) secara singkat dapat dijelaskan good governance adalah bagaimana suatu perusahaan mengatur manajemen dalam perusahaan dengan baik, penuh dengan tanggung jawab  baik terhadap perusahaan itu sendiri atau terhadap masyarakat yang ada disekitar perusahaan tersebut serta tidak melakukan korupsi dengan melakukan transparansi dan akuntabiltas dengan baik.(4)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline