Lihat ke Halaman Asli

Zul Hendri Nov

Belajar Menjadi Penulis

Sarjana Ilmu Politik dan Kekecewaan

Diperbarui: 5 Maret 2019   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika menyebut seorang Sarjana Ilmu Politik, apa yang pembaca bisa bayangkan? Apakah seorang yang nantinya akan menjadi Konsultan Politik? Seorang Caleg? Seorang Mentri? Atau bahkan seorang Presiden? Atau sarjana Ilmu pengangguran?.. Ahh, itu semua terlalu tinggi ferguso. Kenapa saya katakan demikian?

Dalam geliat dan sistem perpolitikan Indonesia, dinasti Politik menjadi sesuatu kewajiban untuk melanjutkan trah Politik. Sehingga wajar, bila sistem politik Indonesia begitu begitu saja. Dinasti politik yang berbarengan dengan konsep Oligarki.

Siapa tidak kenal megawati sebagai Anak dari soekarno yang hari ini geliat partainya menunjukan transisi yang akan dipegang oleh anaknya puan maharani. Siapa yang tak tau amien rais yang dikabarkan sebagai seorang bapak reformasi yang kini, partai besutanya di isi oleh anak-anak beliau yang telah menduduki posisi penting partain. Siapa yang tak kenal SBY yang sepuluh tahun menjadi presiden RI yang hari ini, partainya akan dipegang oleh putra sulungnya.

Masih banyak lagi tentunya. Kamuflase dibalik bahasa demokratis dan konversi selalu digaungkan. Akan tetapi itu hanya bagian sandiwara, tetap saja toh ujungnya berbeda dan lagi-lagi turun ke keturunanya. Iyalah, ini bukan hanya terjadi di indonesia. Mereka yang berhasil merebut tahta tentu akan terus mempertahankan walau habis masa, tetap tujuan selannytnya adalah keluarga yang akan memegang.

Sarjana Politik, konon mereka yang memahami berbagai konsep-konsep  dan sistem politik. Sebut saja sistemnya Motesquieu, David Eston, Gabriel Almod dsb. Memahami konsep-konsep politik yang pada akhirnya dijual kepada empunya uang dan tentu saja tidak jauh dari Anak-anak keturunan pemegang dinasti politik.

Kenapa dijual dan tidak dipakai saja? Ini pertanyaan menarik, beberapa orang yang mencoba meruntuhkan dominasi dinasti politik namun gagal. Sebut saja AU (Anas Urbaningrum). Siapa tak kenal anas yang merupakan dedengkot bagi anak HMI yang memiliki massa loyal yang begitu banyak. Ia berhasil keluar menjadi ketua Partai yang akhirnya dikriminalisasi dan partai dikembalikan kepada empunya.

Kenapa saya ambil contoh Anas? Ya, karena partai yang dinaunginya salah satu partai yang konon merpukan cikal bakal perkembangan demokrasi. Sebab partai lain, jelas trah dan arah dimiliki oleh sanak keluarga mereka.

Melihat geliat perpolitikan, sepertinya beberapa dekade ke depan akan tetap seperti ini. Perebutan kekuasaan dikalangan pemilik partai. Konstestasi politik hanya di peruntukan bagi mereka yang memiliki Uang dan sarana. Inipun juga ditunjang oleh aturan.

Contohnya saja untuk jadi Presiden harus melewati ambang batas 20% suara parlemen. Ya, sudah tentu ini akan terjadi proses tarik menarik yang panjang, dan akhirnya deal-deal politik kembali kepada siapa pemilik modal yang besar.

Sarjana politik yang paham konsep dan mau untuk mengaplikasikan ilmunya ya harus gigit jari. Kepalang basah dari pada kehilangan tempat dan orientasi akhirnya kembali menjadi Konsultan politik. Dibanding saudara seperkandungan dalam keilmuan seperti Ilmu hukum.

Mereka cukup beruntung untuk aplikasi keilmuan, meski tak bisa menjadi abdi negara mereka mengabdi melalui jalan melawan negara (advokat). Atau menjadi tuan Tanah. Ups. Hahah ini hanya konteks keberuntungan dalam segi keilmuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline