Lihat ke Halaman Asli

Warung Kopi dan Masa Depan

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignright" width="300" caption="zulham.com"][/caption] Di sebuah warung kopi yang tak banyak pengunjungnnya, saya dan seorang kawan, Iqbal, baru saja melahap Mie Goreng, rasanya pedas sekali, untuk mengusir mulut yang seperti terbakar, kami minum air putih dua gelas sekaligus, di tambah satu gelas teh dingin, lumayan untuk meredam kepedasan. Wak Man yang meracik mie tersebut seolah seperti marah kepada kami, bagaimana tidak mie yang kami lahap hilang rasanya, satu sendok mie kita masukkan dalam mulut sama dengan memasukkan satu sendok cabai, kerupuk mulieng dan mentimun sebagai lalapan, tak berpengaruh, tetap pedas. “Pu ka geupeulaku Wak Man (apa yang sudah diperbuat wakman)” gerutu Iqbal. Saya tak menanggapinya, tetap pelan melahap mie yang sangat menantang itu, Iqbal tak tahan menahan pedas, buktinya matanya basah seolah mau mengeluarkan air lebih banyak lagi. Saya senyum saja, mie Wak Man benar-benar menantang. Mie yang saya makan sedikit meninggalkan sisa, Iqbal yang sempat protes dengan rasa kepedasan tak meninggalkan sisa-sisa sedikitpun, mungkin ia kesal, mie langsung di lahap ludes, dibersihkan bahkan piringnya tak usah di cuci lagi. Saya tak habis pikir “Begini rupanya kalau si kawan saya ini lagi marah.” Usai makan mie kami terkapar di kursi, kekenyangan. Iqbal lanjut menghisap sisa sebatang rokok, saya duduk meresapi aliran mie dalam perut, teringat kalau nanti akan mengundang mencret, penyakit tiap lima menit harus lari ke kamar mandi. Kalau terjadi ya sudah tinggal beli obat saja, yang pastinya saya takkan memesan mie pedas lagi pada Wak Man, mie biasa saja gak pakek pedas, sudah jera. Iqbal mematikan rokoknya, kami melanjutkan percakapan, Iqbal kuliah di FKIP Kimia Unsyiah memasuki semester 6 sama seperti saya, bedanya saya kuliah Jurusan Komunikasi di IAIN Ar-Raniry. Dikampusnya Iqbal sedang belajar cara menjadi guru sekolah, belajar mengenalkan diri, belajar menjelaskan pelajaran untuk siswa, dan lainnnya sesuai dengan tugas Guru nantinya. Saya menanggapi baik cerita Iqbal tentang kuliahnya, kawan saya ini mau jadi guru, mau jadi pahlawan tanpa tanda jasa, mau jadi abdi Negara yang ingin mencerdaskan anak bangsa, luar biasa niatnya. Saya sangat kenal Iqbal, sejak SMA kami sudah menjadi kawan baik, dia sosok pendiam yang sangat suka belajar, yang lebih saya suka darinya ia tahu tentang pendidikan Negara lainnya, misal ia tahu kondisi pendidikan jepang, china, dan Negara lainnya. Di warung kopi itu ia ceritakan niatnya semua untuk jadi seorang pengajar, Rasa pedas di perut saya seolah hilang mendengar semangatnya, kalau saya yang jadi penguasa kelulusan PNS, orang macam iqbal yang saya luluskan pertama, dia sosok yang berbeda, dari ceritanya yang serius ia juga ikut prihatin atas kondisi pendidikan di Aceh yang kian terpuruk, ia juga meragukan UN sebagai sistem kelulusan anak-anak siswa, kalau ia jadi guru nanti, saya harap ia bisa memberi kontribusi yang baik buat pendidikan Indonesia, khususnya Aceh. Berbicara soal pendidikan di warung kopi rasanya seru sekali, sesuatu yang berguna, ah saya jadi mengingat anak-anak sekolah SMA sering sekali nongkrong di warung kopi, entah apa yang mereka bicarakan, apakah mereka berbicara dengan system pendidikan mereka, apakah mereka berbicara tentang masa depan mereka. Ah entahlah, hanya mereka yang tahu.[] D publish juga di zulham.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline