Lihat ke Halaman Asli

Di Desa Ini, Agama Tidak Dapat Dijual

Diperbarui: 24 Maret 2016   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: www.teachmag.com"][/caption]Di Kecamatan Wonosari, terdapat sebuah desa bernama Desa Bongo II yang berjarak sekitar 3 jam berkendaraan dari Kota Gorontalo. Di desa ini sebagian besar penduduknya beragama Islam. Namun mereka mempercayakan kedudukan ayahanda (sebutan untuk kepala desa atau lurah di Gorontalo) kepada Pak Fredi, seorang beragama Kristen bersuku Minahasa.

Orang-orang muslim itu tentunya memilih dengan sadar. Tidak ada paksaan untuk memilih diluar keinginannya, serta tidak ada rasa curiga bahwa Pak Fredi akan mengutamakan "golongan"nya dibanding masyarakat yang dipimpinnya secara umum. Pada titik ini, kita berbicara tentang rasa saling percaya (trust) tingkat tinggi. Masyarakat mempercayai bahwa Pak Fredi layak memimpin mereka meskipun ia non-muslim. Ketika mereka percaya, mereka tidak akan mempersoalkan agama maupun suku. Seperti kata almarhum Gus Dur; "Tidak penting apa agama maupun sukumu. Jika kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, tidak akan ada yang bertanya apa agamamu".

Dalam berdemokrasi, sudah menjadi rahasia umum bahwa dukungan dapat diperoleh dengan “harga murah”, mulai dari money politics hingga jualan agama, suku dan ras. Dalam transaksi model ini, seorang politisi tidak perlu capek-capek mencitrakan kompetensinya. Cukup dengan menjadi bagian dari mayoritas, wild card sudah ada ditangan. Seakan-akan, agama di KTP bisa menggantikan kompetensi yang tidak ia miliki. Ia bisa saja tidak cakap, atau namanya hanya dikenal oleh golongan elit, bahkanbisa saja ia minim prestasi, namun ketika agama atau suku-nya sama dengan yang dianut golongan mayoritas, ia merasa berhak menjadi pemimpin.

Sejatinya, seorang pemimpin dipilih karena ia layak dipercaya untuk memegang amanah. Kepercayaan ini tidak diperoleh secara instan. Dalam demokrasi, trust tingkat tinggi merupakan barang mahal, sebab mendapatkannya tidak cukup hanya melalui retorika didepan media.

Di Wonosari, trust ditempa melalui puluhan tahun berinteraksi. Pada akhir tahun 1970an, ketika gelombang penduduk miskin Jawa dan Bali datang melalui program transmigrasi, tanah Gorontalo dilanda kekeringan. Tidak sedikit diantara transmigran ini akhirnya balik ke kampungnya karena tidak kuat menghadapi paceklik. Namun yang bertahan hidup jumlahnya jauh lebih banyak, dan akhirnya mereka inilah yang menjadi pelopor toleransi di Wonosari. Mereka berinteraksi dengan penduduk lokal Gorontalo. Masyarakat lokal yang mayoritas petani jagung membagi hasil panen mereka kepada para pendatang. Sementara pendatang yang dibekali kebutuhan pokok seperti gula, minyak tanah, dan kebutuhan lainnya memberikannya kepada penduduk lokal.

Ketika musim kering usai, keakraban mereka kian berlanjut. Sebagai sesama petani mereka pun saling berinteraksi di lahan. Melalui penduduk lokal, para pendatang belajar cara penanganan rumput pengganggu dengan menggunakan lebek kayu. Sebaliknya, penduduk pendatang mengajarkan cara bercocok tanam padi menggunakan caplak. Interaksi sederhana inilah yang menjadi fondasi saling percaya diantara mereka. Puncaknya, ketika sekitar tahun 2010, mereka bersama-sama membentuk perkumpulan bernama Sami Asih. Melalui organisasi ini, mereka menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk menolong masyarakat lain yang sedang kesulitan (lebih jauh tentang Sami Asih ini akan saya ceritakan tersendiri suatu waktu). Konsep toleransi dan ko-eksistensi tidak lagi menjadi teori-teori diatas kertas, tetapi telah mendarah daging hingga generasi ketiga mereka.

Ketika kita kehilangan trust terhadap orang dari golongan lain, dan ketika kita hanya mempercayai golongan masing-masing, disinilah para penjual issu dalam politik memainkan strategi marketing-nya. Agama dan suku dipoles, dijadikan sarana untuk memperoleh simpatik. Lebih jauh, agama dijadikan alat untuk membakar kebencian terhadap lawan-lawannya yang beda golongan. Yakinlah, orang-orang yang menjual issu seperti itu sebenarnya tidak punya kompetensi, mereka hanya mencari dukungan dengan harga yang murah sesuai keinginan mereka. Bahkan jikapun mereka tidak mendapatkannya melalui jualan issu tersebut, mereka akan membelinya dengan rupiah.

Masyarakat desa di Wonosari ini menunjukkan bahwa memiliki trust sebenarnya bukanlah hal mustahil sepanjang anda berlaku baik kepada masyarakat. Seperti kata Gus Dur diatas, seseorang menjadi terpandang karena kelakuannya, bukan suku, agama atapun rasnya. Membangun trust itu butuh waktu, perlu bukti nyata bahwa seseorang itu benar-benar adil dan berpihak kepada masyarakat dibanding golongannya. Namun, sekali ia mendapatkannya, simpatik tak lagi dicari, sebab masyarakat sendiri yang akan berbondong-bondong memberi dukungan.

Saat ini, penduduk desa di Wonosari menikmati buah manis toleransi yang mereka bangun bertahun-tahun. Politik bukan lagi kubangan lumpur, dimana siapapun yang masuk didalamnya menjadi kotor. Politik tidak lagi menjadi arena perkelahian untuk mengadu urat leher dan otot. Di Wonosari, politik menjadi sarana bertukar ide untuk bersama-sama membangun desa.

Baca juga:

Media Propaganda Bergentayangan, Mari Belajar dari Luka Sejarah
Belajar Ketahanan Pangan dari Relawan Lokal di Amerika; Because Sharing is Caring
Alasan Mengapa Orang Amerika Gemar Membaca

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline