Sejak bulan September 2017 kemarin, alhamdulillah saya mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda, tepatnya di Utrecht University (UU), Kota Utrecht. Ini sekaligus menjadi pengalaman pertama saya hidup lama di luar negeri yang, Insya Allah, akan saya tempuh dalam waktu 2 tahun sampai 2019 nanti.
Apakah saya sempat mengalami culture shock atau gegar budaya? Ya pastinya, walaupun tidak terlalu. Hanya saja saya merasa was-was memikirkan perubahan gaya hidup yang perlu saya lakukan. Terlebih lagi sebagai seorang muslim, banyak aktivitas yang perlu dilakukan sebagai upaya beribadah maupun persyaratan syariah misal saja, setiap Jumat harus Jumatan, kalau beli daging harus yang halal (disembelih atas nama Allah SWT), dll. Awalnya saya berpikir, gampang tidak ya mengingat Islam bukan agama mayoritas di Belanda.
Alhamdulillah, rasa was-was itu sedikit demi sedikit bisa diatasi dan beberapa keraguan saya bisa terjawab: Belanda sangat ramah bagi muslim.
Di sini saya membatasi observasi saya di Kota Utrecht. Insya Allah karena Belanda itu kecil, kehidupan budayanya tidak jauh berbeda dengan kota-kota lain. Hal pertama yang ingin saya bahas adalah persepsi masyarakat Belanda terhadap muslim. Boleh dibilang di Belanda hampir tidak ada kasus rasisme apalagi terkait muslim. Bahkan jika kita ke kantor gemeente (balaikota), banyak pegawainya yang berjilbab loh. Di Belanda, keberagaman begitu terasa sampai-sampai kita tidak bisa mengenali mana yang warga negara Belanda mana yang bukan.
Teman-teman kuliah saya juga sangat terbuka ketika mengerjakan tugas kelompok saya izin mau sholat dulu. Bahkan saya pernah sholat di depan teman saya yang native Belanda ketika kami belajar di study room perpustakaan karena tidak ada ruangan kosong lainnya untuk saya sholat. Kebebasan beragama di Belanda memang sudah diatur sebagai hak asasi yang dilindungi hukum. Namun, perlu digarisbawahi kalau ibadah sholat kita memang tidak menggangu kewajiban lainnya. Misalnya, kalau sudah membuat janji pukul 14.00, ya jangan sampai sholat menjadi alasan untuk datang terlambat. Masyarakat Belanda sangat menghargai pembuatan janji (afspraakmaken) dan ketepatan waktu sehingga kalau sudah janji harus pintar-pintar memanajemen waktu.
Kemudian bagaimana urusan makanan halal? Alhamdulillah di Utrecht cukup banyak restoran dan supermarket halal. Namun, tentu saja tidak sebanyak di Indonesia. Di Utrecht, daging halal bisa dibeli di berbagai tukang daging halal (Bahasa Belanda: Halal slagerij). Saya biasanya langganan beli daging halal di TangerMarkt di jalan Amsterdamsestraatweg karena harganya paling murah. Daging sapi sekilo bisa cuma 6 euro saja. Kadang saya juga ganti-ganti ke slagerij lain karena suka banyak promo, misal di Sultan Food Market di Theemsdreef atau Najma di Arnodreef yang dekat rumah saya. Senangnya lagi mereka juga menjual jeroan seperti ati ayam, usus sapi, otak bahkan hingga babat juga ada!
Untuk pilihan restoran, ada cukup banyak yang berlabel halal misal Halal Burgers & Chicken (HBC), Divan Lunchroom (daging ayam panggangnya juara), Eazie (semacam warteg modern, ada saus sate dan saus lodeh loh), dan yang paling mantap nih, Dar Almaghreb, restoran dengan sajian ribs yang luar biasa enaknya. Waduh kok jadi ngomongin makanan ya? Hehehe...
Namun, bagaimana kalau kita tidak bisa menemukan label halal? Tenang saja, di Utrecht banyak restoran yang menyediakan menu veggie atau seafood yang sudah otomatis halalnya. Paling aman sih veggie karena tidak ada kemungkinan mereka pakai bahan hewani apapun. Gerakan menjadi vegetarian memang sedang digalakkan terutama di lingkungan universitas untuk alasan mengurangi emisi CO2.
Perihal paling fundamental bagi muslim tentu saja ibadah sholat. Ternyata saya tidak perlu khawatir karena masjid di Utrecht ada banyak dan tersebar. Yang paling besar namanya Masjid Ulu Camii yang lokasinya di daerah Lombok yang tepat berada di dekat Station Utrecht Centraal di tengah kota. Masjid ini didirikan dan dikelola oleh komunitas Turki di Utrecht. Beberapa masjid lainnya juga banyak tersebar di daerah tempat tinggal saya di kawasan Overvecht. Bahkan sebelah apartemen saja berdiri sebuah masjid yang dikelola komunitas Maroko. Saking dekatnya, bahkan saya suka bercandaan "wah ini mah kepleset aja udah nyampe".
Saya biasanya sholat jumat di masjid dekat rumah saya. Nah, tapi kalau kuliah bagaimana ya? Alhamdulillah Utrecht University memang top markotop karena mereka menyediakan fasilitas peribadatan untuk multiagama, tepatnya di Utrecht Medical Center (UMC). Nah di ruangan itu setiap hari Jumat siang diadakan sholat Jumat berjamaah. Sangat menyenangkan karena ada tempat wudhu juga jadi tidak perlu wudhu di wastafel toilet. Nah, untuk sholat sehari-hari pun, di gedung Ruppert tempat saya rutin kuliah ada sebuah silent room yang bisa digunakan untuk sholat.
Kalau semisal kangen dengan pengajian dan ceramah Bahasa Indonesia, kita bisa mampir ke Stichting Generasi Baru (SGB) di De Bazelstraat 31, Utrecht. Tiap Jumat, di sana juga mengadakan jumatan dengan penceramah warga Indonesia yang menetap di Utrecht. Sekedar info, saat ini SGB sedang menghimpun dana untuk membangun masjid dan pusat kebudayaan Indonesia. Siapa tahu ada yang berminat untuk beramal bisa klik link ini: https://kitabisa.com/masjidutrechtbelanda.
Wah, ternyata kewajiban saya sebagai seorang muslim tetap bisa saya jalankan dengan cukup mudah ya di Belanda. Terlepas dari poin-poin yang saya sebutkan di atas, sekarang juga sudah banyak app yang bisa membantu kita untuk mengecek jadwal sholat, arah kiblat, hingga mengetahui lokasi resto halal yang terdekat. Dengan segala kemudahan itu, semoga saya bisa betah tinggal di Belanda hingga nanti saya berhasil lulus dari studi master saya ya. Aaamiiin...