Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Zaki Ridwan

Future Lawyer & Entrepreneur

Pertanggungjawaban Pidana Dan Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana

Diperbarui: 15 Maret 2024   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ranaposten.no/

Pengakuan korporasi (rechtspersoon) sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoretis, tidak seperti pengakuan sujek hukum pidana manusia. Begitu kuatnya pengaruh teori fiksi (fiction theory) yang dicetuskan oleh Von Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuan-kesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara, korporasi-korporasi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek hak dan perorangan, tetapi seolah-olah badan itu manusia.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, salah satu penghalang penerapan korporasi sebagai pelaku tindak pidana adalah karena penegak hukum masih berpegang pada adagium "actus non-facit reum, nisi mens sit rea" atau "tiada pidana tanpa kesalahan". Karena berpegang pada adagium tersebut, maka konsekuensinya adalah bahwa hanya "sesuatu" yang memilik kalbu saja yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Oleh karena hanya manusia yang memiliki kalbu, sedangkan korporasi tidak memilik kalbu, maka tidak mungkin dibebani pertanggungjawaban pidana.

Namun perkembangan hukum pidana yang terjadi dalam masyarakat global telah mengubah sikap hukum pidana Indonesia. Sikap masyarakat global yang telah mengadopsi konsep pertanggungjawaban pidana korporasi telah diadopsi pula oleh hukum pidana Indonesia.

Untuk menjawab variasi sifat ambigu yang disebutkan di atas, dapat menghubungkannya dengan model pertanggungjawaban pidana. Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban pidana korporasi, sebagai berikut:

  • Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab.
  • Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawwab.
  • Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab

Membahas mengenai pertanggungjawaban pidana, haruslah adanya unsur kesalahan dari pelaku tindak pidana. Kesalahan itu berupa dolus (kesengajaan) dan culpa (kelalaian) yang biasanya dilakukan oleh manusia, tetapi permasalahannya bukan untuk korporasi. Maka, untuk menentukan adanya unsur kesalahan agar pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dilaksanakan, penulis menghubungkannya dengan teori-teori pertanggungjawaban pidana koporasi seperti, teori identifikasi, teori vicarious liability, dan teori strict liability.

  • Teori Identifikasi/ direct corporate criminal liability :  Rasionalitas penerapan teori ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).
  • Teori Vicarious Liability/Pertanggungjawaban Pidana Pengganti : Prinsip Vicarious Responsibility memungkinkan perusahaan untuk dihukum oleh karena kejahatan dengan kesalahan actus reus (atas tampilan tindakan yang dilarang hukum) dan mens rea (niat kriminal) dari seorang individu untuk korporasi. Pertanggungjawaban korporasi adalah berasal dari kesalahan Karyawan mereka, pejabat atau agen.
  • Teori Strict Liability : Menurut doktrin "strict liability" (pertanggungjawaban yang ketat), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).

Penjatuhan pidana denda terhadap korporasi acap dipandang sebagai pemidanaan yang paling tepat, karena pidana badan tidak dapat dikenakan. Namun, pada beberapa tahun terakhir ini, penjatuhan pidana denda saja pada korporasi mulai dipertanyakan masyarakat hukum di berbagai belahan dunia. Selama ini pemidanaan terhadap korporasi pada umumnya didasarkan pada falsafah retributivisme dan utilitarianisme. Sylvia Rich memandang bahwa teori yang mendominasi pemidanaan terhadap korporasi adalah restributivisme, yang memandang korporasi sebagai entitas yang memiliki kemampuan untuk membuat moral judgments. Namun ia mengingatkan bahwa retributivism bertujuan membuat nestapa pada korporasi, sedangkan korporasi tak mungkin merasakan hukuman, walau ia dapat merasakan kerugian (harm). Sebagai penutup, penjatuhan pidana yang paling berat bagi korporasi adalah pencabutan izin usaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline