Lihat ke Halaman Asli

Wisma Kost Umi Aminah

Diperbarui: 11 April 2016   18:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

@zulfikariza

Kemarin Papa urung menelpon Mauren. Ternyata meeting yang tak penting itu benar-benar telah melahap habis waktu Mauren dengan satu-satunya orang yang dirindukannya. Jangan cuma sekedar kirim uang, lalu enggan menyapa rasa rindunya. Karena Mauren bukanlah kacung yang mengharap bayaran. Karena Mauren adalah kuncup mawar yang layak dinantikan mekarnya. Bukankah mawar harus dibelai dengan lembut? Dan bukankah mawar akan layu jika tak tersentuh kelembutan tuannya?


Ah, mestinya Sheila lebih banyak bersyukur karena ditelpon mamanya tadi pagi. Bukannya malah menggerutu habis-habisan karena Si Mama telah dengan semena-mena membuat panggilan telepon Revan terpental mentah-mentah. Tak seperti Si Mama yang selalu mengikutkan nama Sheila di setiap munajatnya, telepon dari Revan sang pujangga hati pemilik rayuan maut ala tukang obat pojokan pasar itu menurut Sheila jauh lebih layak untuk menjadi pembuka pagi harinya. Meskipun, playboy kapiran cap rumput teki itu harus lebih dulu berjuang hingga ujung kemustahilan untuk mendongkrak IPK satu koma tujuhnya, sebelum bisa dianggap layak melamar Sheila selepas sarjana nanti. Itu juga kalau dia bisa lulus.


Mungkin hanya Wyna yang tengah berbunga-bunga. Karena pagi ini ia berhasil memasak masakan pertamanya. Uap panas yang mengepul dari mangkuk besar itu ditiupnya kencang-kencang, menebarkan godaan tak terperikan bagi perut-perut di kamar-kamar sebelah. Perut-perut memelas yang akhirnya baru bisa susut beberapa inchi setelah pergulatan lahir batin enam minggu belakangan. Tapi Wyna tak peduli. Karena ini adalah masakan pertamanya. Ia tak lagi merasa rugi melepas duaribu perak ke tangan Pak Sholeh tadi subuh untuk ditukar dengan sebungkus mie instant rasa kuah soto.


***
Umi Aminah telah dua belas tahun menjanda. Rumah peninggalan sang suami ini adalah penyambung hidup bagi dia dan putri bungsunya yang masih kuliah semester tiga. Kedua anaknya yang lain sudah jadi orang. Mengais upah dan rupiah di kota-kota sebelah.
Seperti kemarin-kemarin, hari ini Umi hanya ditemani oleh Mbak Sri, pembantunya. Seperti kemarin-kemarin pula, Mbak Sri menyuguhkan secangkir teh tawar hangat untuk menutup sarapan Umi Aminah.


Umi meraih cangkir tehnya, lalu tersenyum menatap Mbak Sri.
“Kalau dengar musik Mozart begini aku jadi inget Nuning, Sri.”
Alunan musik klasik itu telah menerbangkan fikiran Umi menemui putri sulungnya di lantai duapuluh satu sebuah apartemen di Semanggi. Musik klasik itu datang dari dalam kamar Dian. Hanya saja, sebenarnya itu bukan Mozart, melaikan Die Neunte Symphonie milik Bethoven. Biasa distel lirih-lirh saja oleh Dian untuk menemani tidur siangnya. Tapi pagi ini sengaja ia stel sedikit lebih kencang dari biasanya. Karena menurutnya, hari ini adalah hari yang tepat untuk berbagi ketenangan batin dengan seisi wisma. Atau mungkin, pagi ini adalah saat yang tepat untuk menenangkan hati seorang karibnya di kamar sebelah yang akan menghadapi sidang skripsi enam jam lagi.


Sayangnya, mahakarya Bethoven itu pagi ini takkan ramah menyapa telinga Aufa seperti yang dimaui Dian. Karena Aufa telah jauh terlelap, menyerah kalah oleh pukulan-pukulan batin yang menderanya selama sepekan terakhir. Semua efek samping sindrom sidang skripsi telah menghampirinya. Mulai pusing hingga diare, mulai lonjakan selera makan hingga memutuskan untuk jatuh ke dalam perasaan cinta yang semakin mendalam dengan kasur busa tebal di dalam kamar kostnya.


Ia berharap andai dirinya adalah Sandra, yang telah mengosongkan lemari kamarnya kemarin malam. Mengepak baju dan jas almamater ke dalam kopernya. Lalu tidur tenang menerawang kampung halaman, sambil memeluk ijazah dan foto ayah bundanya. Selembar tiket CGK – UPG untuk minggu pagi menemaninya di sisi bantal. Bersiap mengucap selamat tinggal pada kota perantauannya.


Memang beginilah setiap pergantian semester. Satu atau dua penghuni wisma akan pergi dan segera berganti wajah-wajah baru. Hanya rumah peninggalan ini saja yang hampir tak pernah berubah. Bagi Nuning, rumah peninggalan sang ayahanda ini tak pernah tergantikan bahkan oleh kemewahan apartemen yang dihuninya kini. Pohon mangga di halaman rumah itu selalu menyapanya manja dengan kenangan masa kecil di Darmaga.
Matahari menjelang maghrib malu-malu meneroboskan kemilaunya dari sela-sela dedaunan pohon mangga. Menerpa seorang janda di ambang jendela barat rumah. Selarik senyum terukir di wajah Nuning, seiring kedua matanya berkaca-kaca dilahap kerinduan dan harapan. Adakah sosok di ambang jendela itu akan abadi menyapa pelupuk matanya?


Nathan si duapuluh bulan melepaskan diri dari dekapan Nuning, lalu berlari menghambur eyang putrinya di ambang jendela barat rumah. Umi selalu merindukan tangis dan tawa si pangeran muda. Baginya, tangis dan tawa cucu semata wayangnya ibarat nyanyian burung gereja yang tak pernah gagal merias pagi.


Senyum delapanbelas gigi Umi Aminah menyambut Nuning dan Nathan. Memalingkan pipi kirinya dari terpaan senja di langit barat. Sebuah kejutan manis yang, entah kenapa, ia tahu akan datang menghampirinya. Sejak lidahnya basah oleh teh tawar hangat buatan Mbak Sri tadi pagi. Sejak alunan Mozart—atau Bethoven—merayu telinganya tadi pagi. Umi tahu harinya akan berakhir dengan sempurna.
Begitu sempurna, seperti mekarnya mawar di dalam hati Mauren saat nama Papa muncul di layar ponselnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline