Mentari masih seperempat jalan lagi menuju ufuk timur saat kehidupan di pasar perbatasan telah berlari kencang. Bunyi parang pemecah kelapa sahut-menyahut dengan gemuruh perjuangan setiap pedagang yang datang mengais potongan rupiah sekecil apapun dari Abah Haji Tengkulak. Tak begitu haram, kata mereka, hanya sekedar mengambil secuil lagi dari hak mereka atas laba Abah Haji. Mereka menolak peduli meski tahu Abah Haji tak pernah mengambil untung lebih tebal dari sehelai uban.
Kunyit adalah gulita di antara mereka. Ia adalah jelaga di tengah gempitanya pasar perbatasan. Ia hanya tersapa setiap kali seorang pelanggan Abah Haji kebingungan dengan belanjaannya yang bertumpuk. Ia adalah malam di antara kerumunan pelanggan Abah Haji. Ia hanya berpelita saat Abah Haji memintanya mengangkut satu setengah ton gula dari gudang toko untuk dikirim ke Madiun.
Kunyit adalah udara hampa. Bukan kuli angkut pasar perbatasan. Dia adalah aroma yang tak semerbak. Bukan tukang parkir pasar perbatasan. Kunyit adalah kamis dan selasa, butir debu atau kecipak hujan, sepoi kering atau embun keruh, yang dilewati manusia tanpa terpedulikan waktu dan rasanya, tanpa terpedulikan ada tiadanya.
Kunyit hanyalah itu semua. Orang-orangan pasar.
***
Sejak kelas lima SD (kadang ia memang merasa sepertinya dulu sekali ia pernah punya satu setel seragam putih-merah), seingat Kunyit, ia telah ditinggal bapak emaknya. Bukan ditinggal mati. Mereka berdua entah bercerai atau apa, lalu masing-masing mencari pasangan baru lagi dan pergi entah ke mana, tanpa ada satu pun yang sudi mengasuh Kunyit. Ia ditinggalkan begitu saja saat tertidur di dalam rumah papannya yang dibangun di atas setumbak tanah tak bertuan, yang kelak menjadi sengketaan para juragan sapi dengan pamong-pamong pemerintah.
Sejak itu, Kunyit luntang-lantung di pasar perbatasan. Tidur di halte tua, mandi di WC umum pasar, dan makan dua kali sehari dengan uang lelah yang didapatnya dari Abah Haji dan para pelanggannya.
Begitu siang bertandang dan pasar telah bubar, hanya debu pasar yang menemani kesendirian Kunyit. Tak ada Abah Haji yang meladeni setiap bualan ngelanturnya tentang kuli pasar atau para pendayung sampan di bengawan. Tak ada pula wajah-wajah pelanggan toko yang datang dan pulang menyapu pelupuk mata yang terlalu keruh untuk pemuda seusianya.
Pelupuk mata itu telah jengah melihat dunia menghujami hidupnya dengan kenyataan pahit yang hampir tak terperikan. Lengan kekar itu teramat akrab dengan karung-karung beras dan gula sejak limabelas tahun silam. Telapak tangannya telah lama bersahabat dengan pasir dan batu kali. Tak ada masa depan yang mampu direngkuh kedua lengan legam itu. Sebagaimana tiada pula embun-embun impian yang sanggup mengembalikan kejernihan bola matanya.
Telah lama tapak kakinya tak menyentuh sandal. Tanah lumpur dan paku beling sudah pula muak dengan kulit arinya yang terlalu tebal. Tapi, meski orang-orangan pasar itu tampak teramat pekat dan kumal bagi kebanyakan mata tua, tak pernah ada anak kecil yang jenuh berlarian dan bertarian dengan Kunyit, atau tertawa dan bercanda bersama Kunyit.
Mereka menganggap Kunyit laiknya badut berbedak pasir bengawan. Atau, mungkin juga mata mereka masih begitu murni, hingga melihat Kunyit tampak bening tanpa geliat dosa yang menebal menyelubunginya. Bagaimanapun, Kunyit tetaplah sekedar itu. Ia cuma orang-orangan pasar.
***
Malam tadi bukanlah malam yang nyenyak bagi Kunyit. Bukan kenapa-kenapa, hanya saja, halte tua itu semalam telah lebih dulu dikuasai oleh orang gila dari seberang bengawan. Kunyit tak cukup berani mengusir imigran kasar itu dari dipan beton yang selalu mengantarnya ke alam tidur setiap malam. Ia lebih suka membiarkan halte tua itu sebagaimana kodratnya sebagai tempat umum yang boleh ditempati oleh siapapun, termasuk si gila pecandu puntung dari seberang bengawan itu.