Langit senja awal bulan November kemarin perlahan berubah warna dari jingga menjadi kemerahan saat saya tiba di Lamalera, sebuah desa nelayan di pesisir selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur.
"Selamat datang di Lamalera," sapa Ibu Siska, wanita berusia 40an tahun yang sehari-harinya mengelola salah satu homestay di kawasan pantai Lamalera.
Lamalera terkenal dengan perburuan paus tradisional yang telah dilakukan turun-temurun. Perburuan paus biasanya dilakukan sekitar bulan Mei sampai November, yang merupakan bulan migrasi paus dari Laut Banda menuju Samudera Hindia, melewati Laut Sawu di selatan Lamalera.
Dalam satu rombongan paus yang bermigrasi, ada beberapa jenis paus yang tidak boleh diburu. Salah satunya adalah paus biru yang dianggap sakral oleh masyarakat Lamalera.
Para pemburu paus di Lamalera menggunakan kapal kayu atau paledang yang didayung beramai-ramai. Jika ada paus yang lewat, maka juru tombak atau lamafa melemparkan tombak ke arah paus tersebut.
Sepi wisata sejak pandemi virus corona
Tahun 2020 ini terasa beda bagi masyarakat Lamalera. Tak hanya perburuan paus yang terhenti sejak bulan Agustus, tapi juga kunjungan wisata yang menurun drastis karena pandemi Covid-19.
"Bulan April lalu ada sekitar 30 bule yang mau menginap di sini, tapi kami tolak. Kami khawatir corona. Apalagi di sini puskesmas jauh dan kalau ada yang kena corona tentu seluruh desa yang kesusahan," kata Bu Siska.
Saya merasakan sendiri bagaimana "perjuangan" menuju Lamalera. Jalanan mulus beraspal dari Lewoleba - ibu kota Kabupaten Lembata sekaligus kota pelabuhan dan bandara utama di pulau ini - hanya sepanjang kurang lebih 17 kilometer hingga Pantai Mingar. Selebihnya, jalanan naik turun bukit berupa tanah dan batu sejauh kurang lebih 30 kilometer.