Lihat ke Halaman Asli

Orang 'Gila' Yang Merubah Peradaban

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Auguste Comte yang dikenal sebagai “bapak sosiologi” lahir di Prancis tahun 1798 tepatnya di kota Montpellier. Keluarganya adalah bangsawan yang beragama Katolik. Ia hidup di Paris di tengah pergolakan sosial, intelektual dan politik. Comte juga dikenal sebagai seorang mahasiswa pemberontak dan keras kepala. Ia meninggalkan kampusnya setelah seorang mahasiswa satu kampusnya yang mendukung Napoleon dikeluarkan. Ia memulai karirnya dengan meberikan les matematika. Ia memang memperoleh pendidikan di bidang matematika namun perhatian sebenarnya dalam pikiran “bapak sosiologi” ini sebenarnya adalah masalah-masalah sosial dan juga masalah kemanusiaan. Perhatiannya terhadap sosial dan kemanusiaan tak lepas dari peran Saint Simon sebagai orang yang mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya. Keduanya saling melengkapi dalam hal kepribadian, Saint Simon adalah orang yang tekun, aktif dan bersemangat serta kurang disiplin. Sementara Comte seorang yang metodis disiplin dan repleksif. Comte menjalin kerjasama dengannya dalam mengembangkan karya awalnya sendiri. Namun keduanya tak sepahan mengenai kepengarangan bersama dan akhirnya Comte menolak bimbingannya lagi.

Karya Comte pada awal mula di bawah asuhan Simon kelihatan sangat meyakinkan, dia membuat dirinya sendiri dipandang oleh kaum intelekrual di Prancis karena ketekunan dan kecemerlangan intelektualnya dalam karya-karyanya. Dengan kecemerlangan intelektualnya tersebut ia menyusun sebuah sintesa dari banyak aliran yang bertentangan dan telah dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, ia juga mengusulkan untuk mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan suatu dasar empiris yang sangat kuat (positif). Mengapa ia disebut sebagai “bapak sosiologi”? Karena dia-lah yang memberikan istilah “sosiologi” untuk menggantikan istilah sebelumnya “fisika sosial” karena ilmuan bernama Quitelet telah menggunakannya dalam menggambarkan studi statistiknya. Tak heran mengapa Comte pertama memberikan istilah “fisika sosial” dalam ilmu yang sekarang dikenal “sosiologi”, karena latar belakang pendidikannya memang berada dalam bidang eksakta (seperti yang sudah dijelaskan di paragraf awal). Comte memusatkan perhatiannya pada tingkat kultural kenyataan sosial.

Dalam kehidupan asmara Comte tidak terlalu beruntung. Saat ia sedang mengembangkan filsafat positifnya, dia menikah dengan seorang bekas pelacur, Caroline Massin, seorang wanita yang sudah lama menanggung beban emosional dan ekonomi Comte. Kondisi ekonomi Comte memang pas-pasan, ia bisa dibilang masuk kategori masyarakat yang miskin pada masa itu karena tidak mampu menjamin posisi profesional yang dibayar dengan semestinya. Setelah lama hidup bersama istrinya kemudian pergi meninggalkan Comte karena sering mendapat perlakuan kasar. Dia menjadi sengasara dan gila setelah kepergian Caroline. Kemudian Comte bertemu dengan Clothilde de Vaux, seorang ibu yang sedang ditinggal suaminya saat bertemu Comte. Sayang sekali perasaannya terhadap Comte tak seperti perasaan Comte kepadanya. Ia hanya menganggap hubungannya dengan Comte sebagai saudara. Romantika ini tak berlangsung lama. Clothilde mempunyai penyakit TBC dan kemudian meninggal setelah beberapa bulan bertemu Comte. Comte pun terguncang dan seketika ia bersumpah akan mengabdikan dirinya untuk wanita itu. Sifat tulisan Comte berubah sejak kematian pujaan hatinya. Perubahan tekanan dalam tulisan Comte juga membingungkan pengagumnya. Karya bagian keduanya, System of Positive Politics dianggap sebagai suatu perayaan cinta namun dengan tujuan yang sama yaitu membangun sistem yang menyeluruh seperti karya sebelumnya Course of Positive Philosophy. Namun dibalik sikap emosionalnya setelah kepergian Clothilde, Comte mengembangkan sebuah agama baru yang berlandaskan pada perasaan yaitu agama humanitas. Agama yang di kembangkan oleh Comte ini tidak membenarkan hal yang tradisional dan supranaturalistik dengan kata lain positivisme adalah persyaratan dalam agama ini. Comte menjadi otoriter sehingga ia tidak bisa membayangkan sebuah masyarakat yang positif tanpa dia. Ia juga menyatakan dirinya sebagai tuhan dari agama yang ia dirikan sendiri yang dianggapnya “Agama Universal”. Comte berharap ahli sosiologi lain dapat mengikuti bimbingannya dengan berperan sebagai penjaga moral dan imam, dengan memberikan pengarahan kepada pemimpin politik dan industri.

Sumbangan kreatif dari pemikiran Comte dinilai oleh Martindale merupakan sintesa dari sebuah pemikiran sebelumnya yang bertentangan dengan positivisme yaitu organisme, dimana positivisme lebih menerima sepenuhnya pandangan dunia ilmiah atau yang berdasar hukum alam. Hasilnya tentu akan menghasilkan masyarakat yang mengedepankan penalaran dan akal budi dibanding tahayul serta akan menimbulkan kerjasama diantara individu. Perspektif organis menekankan gambaran masyarakat sebagai suatu organisme. Namun, analogi ini tidak bisa dilihat begitu jauh karena kompleksitas masyarakat melebihi sebuah organisme. Dalam perspektif organis masyarakat tidak bisa menyempurnakan hukum-hukum oleh berbagai pembaruan buatan artinya masyarakat yang bersifat organis tenggelam dalam masyarakat yang meliputinya serta tradisi yang ada di dalamnya.

Beralih ke perspektif positivistis Comte tentang masyarakat. Andreski berpendapat pendirian/pemikiran Comte tentang masyarakat yang merupakan bagian dari alam dan bahwa mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya dengan metode penelitian dan empirisme merupakan sumbangan pemikirannya yang tak terhingga nilainya terhadap perkembangan sosiologi. Comte berpendapat ada tiga tahap perkembangan intelektual dalam kehidupan yaitu teologis purba, penjelasan metafisik, lalu hukum-hukum ilmiah yang positif. Seperti yang telah dijelaskan diatas hukum ilmiah positif ini ada karena penelitian. Comte lalu menunjukan metode penelitian empiris untuk semua ilmu yaitu pengamatan, eksperimen dan perbandingan (analisa komparatif). Tipe penelitian yang terakhir (analisa komparatif) melahirkan sebuah metode penelitian baru yaitu analisa historis, suatu metode yang khusus untuk gejala sosial yang memungkinkan suatu pemahaman mengenai hukum dasar perkembangan sosial. Dalam tahap teologis Comte membaginya menjadi tiga periode yaitu fetitisme, politeisme dan monoteisme. Fetitisme adalah bentuk pikiran yang dimiliki masyarakat primitif dimana mereka percaya akan hal-hal yang abstrak dan supranatural. Namun pemikiran fetitisme ini diganti oleh pemikiran politeisme, pada periode ini manusia berfikir kekuatan supranatural ada dalam benda-benda alam dan terus mengontrol gejala alam yang ada. Akhir periode teologis ditandai dengan munculnya Katolisisme di abad pertengahan sebagai puncak dari tahap monoteisme. Pola organisasi sosial yang dominan dalam tahap-tahap tersebut menggambarkan kecerdasan intelektual sebuah masyarakat (menurut Comte). Menurutnya tahap teologis mendukung organisasi sosial militer, metafisik berhubungan dengan dominasi sosial ahli hukum dan tahap positif mendukung keteraturan sosial yang bersifat industrial.

Munculnya suatu masyarakat industri tak lepas juga dari peran filsafat dan ilmu pengetahuan positif dan pada dasarnya merangsang pertumbuhan ilmu pengetahuan selanjutnya. Pengetahuan ilmiah merupakan dasar kemajuan teknologi yang memungkinkan perkembangan industri. Dominasi militer pun mulai beralih menjadi dominasi industri, dari yang sebelumnya mengeksploitasi masyarakat menjadi mengeksploitasi alam. Comte mengakui bahwa perpindahan dari tahap satu ke tahap yang lain tidaklah terjadi secara tiba-tiba. Sehingga memperlihatkan sebuah garis pemisah diantaranya. Dalam sebuah perpindahan tahap kehidupan pasti selalu ditandai dengan kekacauan-kekacauan dalam masa peralihan dan makin lama berlangsungnya kekacauan tersebut semakin menunjukan pergeseran peradaban (evolusi) dari satu tahap ke tahap yang lainnya. Dalam evolusi ada faktor-faktor sekunder yang mampu menghambat sebuah perubahan dari satu tahap ke tahap yang lain atau bahkan mempercepat sebuah evolusi misalnya, jumlah penduduk, kehidupan moral dan intelektual masyarakatnya, pemikiran filsafat yang kolot serta faktor lainnya.

Comte ingin menjelaskan bagaimana penjelasan-penjelasan religius mengenai berbagai gejala di sebagian besar masyarakat modern. Namun kebanyakan ahli sosiologi agama masa kini akan mengutarakan bahwa ilmu agama tidak bisa dikaji seperti ilmu pengetahuan. Contohnya ilmu pengetahuan berhubungn dengan penjelasan yang bersifat empiris tetapi agama berhubungan dengan aarti dan tujuan hidup yang tidak bisa dijawab dengan metode-metode penelitian ilmiah.

Comte juga menganalisa tentang keteraturan sosial. Ia berpendapat keteraturan sosial dibagi dalam dua fase yaitu, usaha mengetahui keteraturan sosial melalui cara empiris dengan metode positif dan yang kedua adalah usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial dengan menggunakan metode yang sesuai dengan positivisme tetapi menyangkut perasaan dan intelektualitas. Namun Comte tidak terlalu banyak tertarik dengan keteraturan sosial. Ketertarikannya tetap pada evolusi yang ada di masyarakat. Menurut Comte salah satu faktor terciptanya sebuah keteraturan sosial adalah pembagian kerja yang tinggi. Karena setiap individu akan menyadari pentingnya saling ketergantungan dan keterikatan satu sama lain sehingga menimbulkan keteraturan sosial sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Dalam studinya mengenai agama humanitas lalu ia menyadari bahwa agama adalah tonggak terciptanya keteraturan sosial jika diliat secara analisa historis. Ada dua aspek sebenarnya yang menjadi perhatian Comte terhadap keteraturan sosial. Yang pertama meliputi analisa obyektif mengenai sumber stabilitas dalam masyarakat dan fase yang kedua adalah usaha dalam meningkatkan keteraturan sosial dengan agama humanitas yang ia dirikan sendiri. Kedua fase ini merupakan hal pokok dalam bukunya yang berjudul System of Positive Politics. Namun banyak ahli menganalisa bahwa karya kedua Comte ini tak secemerlang yang pertama (karena karya kedua dipengaruhi oleh kepatah hatiannya terhadap Clothilde de Vaux yang meninggal). Comte disebut oleh Coser mengagungkan sikap emosionalnya dibanding intelektualitas yang ia tonjolkan dalam karyanya yang terdahulu (Course of Positive Philosophy). Namun ada tokoh lain yang terang-terangan memandang karya kedua dan karya pertama Comte saling berkaitan dan merupakan bagian dari integrasi yang Comte ciptakan. Ialah Becker yang menyatakan demikian. Namun sikap setujunya terhadap karya Comte bukan berarti ia mendukung agama humanitas yang didirikan Comte.

Apapun kekurangan dari gagasan Comte tentang mereorganisasi masyarakat dan mendirikan agama humanitas, masalah yang ia hadapi sangatlah penting dilihat dari sudut pandang intelektual dan moral. Hingga akhir hayatnya “bapak sosiologi” ini hidup dari pemberian-pemberian orang yang mengaguminya dan juga pengikut agama humanitasnya. Ia meninggal karena kanker di tahun 1857 dengan meninggalkan impian ilmu sosial yang bersifat obyektif, analitis, empirisme dan penuh nilai moral humanistik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline