Lihat ke Halaman Asli

Zulfa Ramadhany

Mahasiswa Uin Syarief Hidayatullah Jakarta

Melirik Tragedi Kediri dalam Upaya Mencegah Kekerasan dan Membangun Pesantren sebagai Zona Nyaman untuk Anak

Diperbarui: 27 Mei 2024   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://diskes.badungkab.go.id/artikel/18151-ayo-bully-aku-

     Kekerasan terhadap anak merupakan salah satu masalah sosial yang paling mengkhawatirkan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Fenomena ini tidak hanya melukai secara fisik, tetapi juga memberikan dampak jangka panjang terhadap psikologis dan masa depan anak. Dalam beberapa tahun terakhir, penanganan kasus kekerasan terhadap anak mulai mengalami transformasi dengan diterapkannya konsep diversi, yang merupakan bagian dari sistem keadilan restoratif.

     Adapun diversi adalah proses di mana pelaku kekerasan anak, yang masih di bawah umur, diberikan alternatif penyelesaian masalah yang tidak melibatkan proses peradilan formal. Tujuannya adalah untuk menghindari dampak negatif dari sistem peradilan pidana, dengan mengutamakan rehabilitasi dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Proses diversi ini seringkali melibatkan mediasi antara pelaku dan korban, penasehatan, serta program pendidikan dan sosialisasi sebagai bagian dari tindakan restoratif.

     Penerapan diversi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU ini mengakui bahwa anak yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan berbeda dari orang dewasa, mengingat kondisi psikologis dan kebutuhan perkembangannya yang spesifik. Diversi diharapkan dapat meminimalisir stigmatisasi, menghindari over-kriminalisasi, dan memberikan kesempatan kedua bagi pelaku untuk memperbaiki diri.

     Kasus meninggalnya Bintang Balqis Maulana, seorang santri berumur 14 tahun di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah, Kabupaten Kediri, menggugah kesadaran kita terhadap masalah kekerasan yang masih terjadi di lingkungan pesantren. Kejadian tragis ini, yang diduga sebagai hasil dari penganiayaan oleh sesama santri, menunjukkan perlunya penerapan metode diversi dan peningkatan pengawasan dalam sistem pendidikan pesantren yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan tumbuh.

     Oleh karena itu, sebuah diversi yang merupakan aspek dari keadilan restoratif, seharusnya lebih diintegrasikan dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan anak di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren. Proses diversi meliputi mediasi dan konseling yang tidak hanya menyelesaikan masalah secara adil, tetapi juga memungkinkan pelaku untuk memperbaiki kesalahan dan mendamaikan hubungan dengan korban. Ini adalah langkah proaktif untuk mengembalikan keharmonisan dalam komunitas sekolah.

     Akan tetapi, implementasi diversi sangat tergantung pada adanya pengawasan dan regulasi yang kuat dari pihak pemerintah terhadap lembaga pendidikan. Disamping itu, PPTQ Al Hanifiyyah, juga memiliki kendala ketiadaan izin operasional yang telah menyulitkan otoritas untuk mengimplementasikan pengawasan efektif. Hal ini mungkin bisa mencegah tragedi seperti yang terjadi pada Bintang.

     Mengingat hal tersebut, kerja sama antara pemerintah dan masyarakat menjadi krusial dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pesantren. Pemerintah perlu mewajibkan setiap pesantren untuk memiliki izin operasional yang sah, memastikan lembaga-lembaga ini mematuhi standar keamanan dan pendidikan yang tinggi, sekaligus memungkinkan pengawasan yang lebih efektif.

Tragedi ini juga menyoroti pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk staf pengajar dan pengelola pesantren dalam mengenali dan mengintervensi indikasi awal kekerasan. Mereka harus dilatih untuk mengidentifikasi perilaku yang berpotensi berujung pada kekerasan atau intimidasi, sehingga tindakan preventif dapat diambil sebelum situasi eskalasi dan Integrasi. Teknologi dalam sistem pelaporan juga perlu diperkuat, memungkinkan santri dan orang tua mereka untuk melaporkan kekerasan atau masalah lainnya dengan mudah dan aman. Sistem ini harus dirancang untuk menjamin bahwa semua laporan ditangani dengan serius dan penuh kerahasiaan, dengan fokus utama adalah perlindungan dan kesejahteraan anak-anak.

     Kasus Bintang bukan hanya merupakan tragedi pribadi tetapi juga refleksi dari kebutuhan mendesak untuk reformasi sistemik dalam pendidikan pesantren di Indonesia. Reformasi ini harus mencakup penguatan hukum, peningkatan pengawasan, dan implementasi program diversi yang efektif sebagai upaya untuk menciptakan fondasi yang kuat bagi pendidikan yang aman dan mendukung. Kesadaran ini harus membawa kita kepada pengakuan bahwa pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual, tetapi juga untuk melindungi dan mengasuh jiwa setiap anak. Setiap anak di Indonesia berhak mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam lingkungan yang aman dan penuh kasih.

     Mengingat peristiwa tragis yang menimpa Bintang, sudah saatnya semua pihak, dari pemerintah hingga masyarakat, berkolaborasi untuk memastikan tidak ada lagi anak yang mengalami nasib serupa. Langkah-langkah konkret harus segera diambil untuk mereformasi pengelolaan dan pengawasan pesantren, memastikan lembaga-lembaga ini menjalankan peran mereka sebagai pusat pembelajaran dan pertumbuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline