Lihat ke Halaman Asli

Zulfan Fauzi

Prosais, penulis

Si Penjemput

Diperbarui: 11 Juni 2024   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KKN. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kau merasa dadamu seakan tertusuk oleh sebuah bilah dingin tak kasat mata yang menembusi jantung. Gigil dan ngilu yang mendesak. Kau terengah dan udara dingin, serta malam di Pegunungan Meratus itu memberangus dan membuatmu tersedak. Di malam berkabut selepas hujan itu kau terus saja berlari menuju desa di Pegunungan Meratus.

Kau tak ingin terlambat pastinya. Ada janji yang harus ditunaikan. Dan sebagai laki-laki, kau tahu bahwa harga dirimu terletak pada kemampuanmu menepati janji. 

Perempuan itu ada di sana, menantimu.

Berlari menanjaki bukit di malam hari, selepas hujan pula, tentu tidak mudah. Udara yang semakin tipis, dingin menusuk dan menekan-nekan dada, serta langkah kaki yang tertahan lumpur, membuat jalanmu terasa berat menuju Balai Adat tempat Aruh Ganal diadakan alias Pesta Adat diadakan.

Satu-satunya sumber cahaya yang menemanimu menembus malam berkabut ini hanyalah sebuah senter. Yang ajaibnya tidak ikut hilang seperti handphone-mu, saat tiba-tiba saja tanah longsor menerjangmu yang sedang mengendarai sepeda motor ketika hujan turun malam itu.

Kau selamat meski terkubur lumpur dan patahan pohon yang luruh, handphone yang kau genggam sembari mengendarai sepeda motor pun terlempar entah ke mana?

Kau terbangun dengan dada yang sesak karena hantaman lumpur, serta tersadar bahwa sepeda motormu sudah tidak bisa terselamatkan lagi. Dan satu-satunya cara untuk mendapat pertolongan adalah pergi ke Balai Adat di desa atas bukit, tempat semua orang sedang merayakan pesta adat--pula Kartika yang sedang menunggumu di sana.

Setelah memastikan kau tidak mengalami luka yang mengkhawatirkan kecuali beberapa lecet di tangan dan kaki. Kau bergegas menuju ke desa yang berjarak sekitar satu kilometer lagi itu.

Tergesa--berjalan dengan langkah yang dipercepat sembari jalan semakin menanjak,membuat dadamu semakin terasa berat. Meski kau--kalian sudah dua minggu tinggal di pelataran pegunungan Meratus sebagai mahasiswa KKN, dan harusnya sudah beradaptasi dengan udara yang tipis serta dingin. Namun, tetap saja dadamu terasa berat.

Selain ngilu yang menggigit di dadamu dan coba kau tak acuhkan, ada hal lain yang berusaha kau abaikan kehadirannya. Ada sosok yang terus berkelebat di belakangmu, bayangan hitam yang entah bagaimana tiba-tiba mengikutimu.

Ketika kau berjalan, maka ia akan berjalan juga. Bunyi tapak kakimu yang menjejak dan tenggelam di lumpur sehabis hujan, akan berbalas bunyi tapak kakinya yang menjejak tanah di belakangmu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline