Keberagaman umat beragama di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Hingga saat ini total penduduk Indonesia berjumlah 272,32 juta jiwa dengan 86,88% beragama Islam, 10,58% Kristen (7,49% Kristen Protestan, 3,09% Kristen Katolik), 1,71% Hindu, 0,75% Buddha, 0,03% Konghucu, dan 0,05% agama lainnya. Jumlah presentasi penganut agama ini menunjukkan bahwa kita hidup dalam dinamika yang mengharuskan rasa toleransi terjunjung tinggi.
Hari Minggu kemarin saya berkesempatan untuk menemui Pastor Yoris di Gereja Khatolik Hati Kudus Yesus yang terletak tidak jauh dari Alun-Alun kota Malang. Bersama beberapa teman sekelas, saya beranikan diri untuk mendatangi gereja umat khatolik dan menunggu ibadah misa selesai. Selepasnya kami mendatangi Pastor berasma Yoris tersebut (lebih sering dipanggil romo) untuk mempelajari keberagaman ini lebih jauh.
Sebelum Pastor Yoris mendatangi kami, terdapat seorang lelaki muda yang dilatih untuk menjadi Pastor. Dengan baik hati beliau mempersilahkan saya untuk duduk. Topik pertama yang saya tanyakan adalah apakah umat khatolik merasa terganggu sebab kami (umat islam) memiliki banyak acara keagamaan yang menggunakan speaker dan pengeras suara. Jawaban yang hampir serupa kami dapatkan.
"Sebetulnya kalau masalah pengeras suara yang baru-baru ini viral, pasal umat muslim yang dilarang mengumandangkan adzan, saya tidak keberatan. Saya sudah terbiasa, malah bagi kami yang bukan pemeluk agama islam, adzan merupakan penanda waktu. Oh adzan diwaktu pagi berarti waktunya pukul lima, waktunya bangun. Seperti itu. Sayapun sudah hidup di lingkungan muslim semasa kecil, Mama saya muslim.
Om saya ustadz ...." Pastor Yoris menjelaskan dengan ramah. Ia terus melengkungkan matanya yang nampak antusias. Saya agak terkejut, pun teman-teman saya. Beliau adalah orang yang hidup berdampingan dengan pemuka agama muslim, dan diusia ini beliau sudah melayani banyak gereja untuk menjalankan tugas sebagai romo atau imam bagi umat khatolik.
Saya melanjutkan obrolan dengan beliau. Pertanyaan kali ini diutarakan teman saya bernama Ajeng, ia bertanya mengenai ibadah yang dilakukan umat khatolik ketika pandemi. Saya juga penasaran, sebab bagi kami ketika pandemi datang, ibadah di masjid sukar dilakukan. Sang Pastor menjawab, "ibadah kami jadwalkan secara online. Untuk jadwal reguler misa hari senin sampai jumat, umumnya dilakukan satu jam sekali. Namun, karena keadaan tidak memungkinkan, kami membatasi waktu menjadi tiga puluh menit saja. Untuk umat yang berusia lebih tua kami sarankan dipimpin dari rumah. Kami menjaga kesehatan umat. Takut kalau ada apa-apa."
Tidak sampai di sana, ada hal yang terus mengusik kepala saya mengenai satu topik. Akhirnya saya beranikan untuk bertanya kepada Sang Pastor pasal pernikahan berbeda agama. "Anda terus bertanya mengenai kasus yang sedang viral ya, haha. Tidak apa-apa. Saya senang karena ada yang sadar dengan isu sosial seperti ini." Beliau menanggapi dengan kekehan.
"Dalam agama kami, pernikahan berbeda agama itu diizinkan. Ada bab dalam kitab kami yang membahas mengenai pernikahan beda agama, bahkan beda gereja. Beda gereja ini dimaksudkan untuk umat khatolik yang akan menikah dengan umat protestan. Setahu saya dalam islam tidak diperbolehkan ya menikah berbeda agama?" Sang Pastor bertanya balik.
Kami mengangguk mantap. "Nah itu perbedaannya, kalau di kami boleh. Hanya saja harus melalui sidang dan pertimbangan uskup. Kami membantu proses perizinannya. Tetapi ini memang diperbolehkan, baik beda agama maupun beda gereja. Sudah banyak yang tercatat, kami memberi kebebasan."
Saya selalu terkesan dengan keramahan yang diberikan Pastor Yoris dalam menanggapi pertanyaan saya. Lantas teman saya yang lain bertanya mengenai sekolah khusus. Dalam agama kami, sekolah khusus agama seperti madrasah, pondok pesantren, adalah sekolah yang dikhususkan untuk mereka yang hendak mempelajari agama. Dalam khatolikpun ada sekolah semacam itu. Seminari namanya.
Pastor Yoris menjelaskan bagaimana seminari mendidik umat khatolik untuk menjadi pastor di masa depan. Tentu banyak hal yang harus dilakukan, waktu yang ditempuh dalam seminaripun tidak sebentar. Pastor Yoris menjelaskan bahwa menjadi pastor butuh sekurang-kurangnya 14 tahun sekolah dan pelatihan.