Lihat ke Halaman Asli

Zulfa MuasarohBinti

Saya Zulfa, mahasiswi jurusan Perbankan Syariah

Ibu yang berada di Bawah Langit Biru

Diperbarui: 10 Maret 2022   20:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret Ibu (tangan adik saya berada di belakang)

Hendak saya deskripsikan mengenai seorang wanita yang memiliki banyak pesona, ibu saya tercinta.

Mungkin apabila ibu saya tahu kalau saya memiliki tugas untuk mendeskripsikan beliau, beliau akan meminta disebutkan hal-hal yang cantik saja. Hemm, tentu sebagai seorang putri pertama yang telah merasakan pahit manis bersama, akan saya ungkap segala yang saya dapat selama saya hidup, selama delapan belas tahun ini.


Awalnya dulu mungkin ya, ibu saya adalah wanita luar biasa berusia empat puluh tujuh tahun ini. Sudah lumayan tua untuk wanita yang memiliki anak perempuan pertama yang baru menginjak usia delapan belas seperti saya. Ibu sendiri pernah berkata kalau masa muda beliau dihabiskan untuk bekerja, memenuhi keinginan semasa remaja yang tidak dapat diberikan kakek dan nenek saya sebab mereka hidup dalam keluarga yang tidak teramat kaya.

Ibu saya adalah anak kedua dari lima bersaudara. Ibu memiliki seorang kakak perempuan yang kerap saya panggil bude dan dua adik lelaki serta satu adik perempuan. Ibu dan saudara-saudaranya sudah merasakan banyak sulit sejak kecil, belum sampai pada sekola menengah akhir, ibu saya memutuskan untuk putus sekolah. Sebab tidak ada biaya yang cukup untuk menggapai mimpi ibu saya, ibu terpaksa bekerja diusia belia.

Saya tidak terbayang seberapa sulitnya masa itu, dimana teman-teman ibu tengah bersemangat mengikat tali sepatu, merapikan baju, berangkat dengan semangat di bawah naungan langit biru, sementara ibu mengayuh sepeda untuk bekerja di pabrik. Ketika teman-temannya pulang dengan ilmu, ibu bersimbah keringat dan diselimuti banyak pegal pada sendi dan tulangnya.

Saya menyayangkan itu, pasal ibu yang harus merelakan masa mengemban ilmunya yang berharga. Namun, waktu telah berlalu, dengan berbekal ijazah SMP-nya, ibu berjuang untuk bekerja di satu pabrik, di dekat rumah kami. Dengan gaji yang cukup untuk membahagiakan diri, yang cukup untuk di sumbangkan sedikit demi sedikit guna memperbaiki rumah kakek dan nenek, ibu cukup bangga menceritakan kisahnya kepada saya.

Saya selalu salut dengan perjuangan ibu yang tidak ada habisnya. Selepas bekerja dan berhasil membeli barang-barang yang dia damba dengan jerih payahnya, ibu mengenal ayah saya di usia dua puluh tujuh menuju dua puluh delapan. Dalam kurun waktu singkat, ibu dan ayah menikah sebab mereka menemukan kecocokan satu sama lain.

Jarak usia ayah dan ibu tidak terlampau jauh, hanya tiga tahun. Ibu dan ayah dapat saya deskripsikan sebagai pasangan paling serasi dan bahagia seluruh dunia. Sebab ayah yang begitu menghormati wanita, juga ibu yang begitu mengerti kebutuhan ayah kapanpun mereka bersama. Ayah dan ibu bersama sejak tahun 2002, mereka memiliki anak pertama, yaitu saya, pada tahun 2003. Tak lama setelahnya, di tahun 2005, saya memiliki adik lelaki.

Kami berempat hidup bahagia dengan kondisi ekonomi berkecukupan. Tiap akhir pekan, ketika saya masih TK, ibu dan ayah sering mengajak saya ke pusat perbelanjaan di tengah kota. Saya begitu bahagia, saya menjadi anak paling bahagia di usia saya, hehe.

Saya, ibu, ayah, dan adik saya adalah gambaran keluarga yang tidak kurang akan kasih sayang walau ekonomi kami tidak stabil, walau begitu juga, saya rasa kami cukup senang dengan kondisi yang demikian. Tidak yang kaya sekali, namun juga tidak miskin, pas intinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline