"Yang berprestasi malah Kamu bully. Yang omong doang malah Kamu gadang-gadang. Sebetulnya Kamu itu lontong atau lemper, sih?" demikian bunyi status facebook rekan Heru P. Winarso, yang cukup menggelitik saya ketika membuka beranda pagi ini. Entah dilatarbelakangi apa hingga rekan saya itu bertanya dengan gaya satir semacam itu.
Walau tidak disebutkan siapa yang disebut berprestasi dan siapa yang omong doang dalam redaksi status tersebut, tetapi dalam situasi sekarang ini dapat ditangkap kepada siapa yang dimaksud. Namun, ada nada kekecewaan terlihat. Yang menarik, mengapa penulis status mengibaratkan orang yang mem-bully itu lontong atau lemper.
Sudahlah, takperlu dalam membahas soal lontong atau lemper. Kedua makanan khas Indonesia yang sudah ada sejam zaman rekiplik itu memang unik. Satu dibuat dari beras, satunya dari ketan, tetapi sama dibungkus daun. Secara fisik, lemas dan dapat dikunyah tanpa memerlukan banyak tenaga. Selebihnya, ya banyak yang suka, walau mungkin takbegitu suka benar.
Kondisi negeri ini sedang dibanjiri 'lontong atau lemper', bolehlah saya latah memakai istilah itu. Sebagian masyarakat takmau susah-susah untuk berbuat baik dan benar. Sebagian lagi tetap berusaha di jalan yang benar, walau tetap saja dianggap takbenar. Ini bukan sebuah generalisasi, tetapi dari yang muncul di media sosial adalah masyarakat kita suka main gampang saja. Risiko belakangan.
Lihatlah, ada yang gampang mencaci, menghasut, memfitnah, membuka aib, memancing kemarahan, atau dalam bahasa sekarang membuat ujaran kebencian. Ada juga yang gampang menggampar bahkan sampai sengaja menabrak. Menariknya, yang melakukan, kebanyakan terpelajar, terpandang, bahkan pejabat publik. Pokoknya nang badahi.
Semuanya menggunakan media sosial (medsos) untuk menumpahkannya. Gratis, gampang dibuat, dan pasti ada yang baca, itulah karakter medsos. Mereka lebih banyak menggunakan bahasa. Beberapa dengan gambar, tetapi tetap ada pesan yang disematkan. Dan jika dicermati kalimat dan gambar yang disajikan, ngeri. Kita seakan berada di negeri barbar.
Bahasa yang digunakan sangat verbal dan sangar. Takada kesantunan dan kearifan. Jika menuduh, takada kata 'diduga' atau 'kemungkinan'. Jika mencaci, yang muncul langsung tunjuk hidung disertai kata-kata kasar. Dan jika membuka aib, takada lagi menyebut nama pakai inisial atau wajah yang di-blur. Saya menyebut kondisi ini sebagai 'kemaksiatan verbal'.
Yang menarik dikaji adalah bahwa kebanyakan sematan yang dijadikan bahan ujaran kebencian di medsos itu justru hanya berdasarkan asumsi, tanpa data valid, bahkan info sambung menyambung yang takjelas siapa awalnya yang memukul gong. Bahkan, setelah dirunut, sumber media yang dikutip pun abal-abal. Anehnya, penyambung lidah itu melakukan dengan percaya diri penuh.
Entah sampai kapan situasi medsos seperti. Walau taksemua netizen berperilaku seperti yang saya bahas di atas, tetapi yang terasa adalah begitu. Medsos yang semula sebagai sarana komunikasi dan informasi yang sejuk, sekarang sudah berubah menjadi panas, ajang pamer kekuatan, dan peran tanding. Entah siapa satria dan begundalnya, makin takjelas.
Pengalaman sudah takmenjadi guru yang paling baik lagi. Sudah begitu banyak contoh pelaku ujaran kebencian dan main kasar yang dipolisikan, tetapi tetap saja muncul pelaku-pelaku baru dengan modus yang takjauh beda. Bahkan, makin banyak jebakan-jebakan Batman dipasang oleh pelaku untuk mengajak orang lain ikut bermain bola liar.
Ya, sepertinya banyak netizen takmenyadari jebakan Batman, sebuah jebakan yang dipasang orang-orang hebat untuk menjerumuskan netizen ke lembah gibah dan dosa. Bagaimana tidak, bola-bola liar itu ikut ditendang ke sana ke mari oleh pemain hasil jebakan tadi untuk ditembakkan ke gawang lawan politik operatornya. Sungguh sebuah kedunguan berjamaah.