Beberapa hari yang lalu, Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin baru saja menorehkan sejarah baru. Pertama, pada hari Selasa (18/6), untuk pertama kalinya Rektor ULM menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa kepada seseorang yang dianggap berjasa. Dan yang mendapatkan itu adalah Nicolaas Josephus Maria Roozen atau Nico "Max Havelaar" Roozen.
Roozen adalah Direktur Eksekutif Solidaridad, lembaga yang beroperasi di 52 negara dan menjadi pelopor bidang ekonomi berkelanjutan yang inklusif. Roozen juga inisiator awal fair trade international "Max Havelaar", yang menginspirasi dunia dalam membangun kerjasama saling menguntungkan antara negara maju dan berkembang.
Sejarah baru kedua ditorehkan pada Kamis (20/6). Kali pertama juga sejak didirikan 1958, Rektor ULM mengukuhkan gelar Guru Besar kepada lima orang sekaligus. Mereka adalah Prof. Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.Ag.,S.H.,M.Hum., Prof. Dr. Saladin Ghalib, M.A., Prof. Dr. Ersis Warmansyah, M.Pd., Prof. Dr. dr. Nia Karnia, Sp.P.A.(K), dan Prof. Dr. Fatchul Mu'in, M.Hum.
Hal ini bukan hanya membanggakan, melainkan juga menjadikan ULM lebih 'berani'. Tersebab saat melewati usia ke-60, ULM memiliki 48 Guru Besar. Walau pun belum mencapai rasio ideal jumlah Guru Besar 20% dari jumlah dosen, tetapi ada pertumbuhan signifikan lima tahun terakhir. Terjadi kenaikan 100% dari jumlah sebelumnya di tahun 2014 yang cuma 23 orang.
Namun, di sela kegembiraan pengukuhan Guru Besar itu, ULM justru sedang berduka. Seorang Guru Besarnya yang berjasa terhadap perkembangan universitas ini telah berpulang ke rahmat Allah, Rabu (19/6). Adalah Prof. Dr. H. Abdul Djebar Hapip, M.A., wafat dalam usia 84 tahun setelah menderita sakit yang cukup lama.
Sosok Pak Djebar, demikian kami - mahasiswa beliau - biasa memanggil, bukan hanya dikenal sebagai akademisi dan dosen yang baik, tetapi juga mempunyai monumen luar biasa. Sejumlah buku lahir darinya, terutama yang berbahasa Banjar, seperti cerita rakyat Banjar dan kumpulan pamali urang Banjar. Yang paling terkenal dan abadi adalah Kamus Bahasa Banjar.
Sebagai Guru Besar FKIP ULM yang memulai karir sejak sarjana muda dengan gelar B.A., Pak Djebar telah menunjukkan bagaimana sebenarnya menjadi akademisi. Beliau bukan sekadar mampu meraih gelar tertinggi itu -- yang pada masa itu sangat sulit diperoleh, tetapi juga menghadirkan dirinya dalam pergaulan Internasional, di masa ULM masih belum banyak dikenal.
Yang menarik, karya-karya Pak Djebar yang terkait dengan budaya dan bahasa Banjar itu, tidak hanya beredar di kalangan kampus, tetapi juga dinikmati oleh masyarakat umum. Kamus Bahasa Banjar karyanya diakui sebagai kamus pertama yang paling lengkap, baik kosakatanya, maupun pelajaran Tata Bahasanya. Dan masih menjadi rujukan utama bagi bahasa Banjar sampai sekarang.
Ini penting saya ungkapkan karena, maaf, karya sebagian besar para akademisi yang bergelar Doktor sampai Guru Besar di ULM nyaris takterdengar di masyarakat umum. Saya pernah menuliskan hal ini dalam esai mingguan di harian ini, 7 Agustus 2016 dengan judul "Akademisi dan Akuarium". Saya menganalogikan akademisi demikian seperti ikan mahal dalam akuarium.
Barangkali apa yang saya sindir tiga tahun lalu sekarang sudah berubah. Bisa jadi sudah banyak karya para-Doktor dan Guru Besar yang mulia itu yang beredar. Sebagian pasti sudah beredar ke publik. Namun, bisa pula lebih banyak yang belum terpublikasikan dengan baik dan lancar hingga belum dibaca, dinikmati, dan dimanfaat oleh masyarakat umum.
ULM tentu harus bersyukur pernah melahirkan akademisi sekelas Pak Djebar, yang juga sudah tiada. Sebutlah seperti Pak Djantera Kawi, Fudiat Suryadikala, Harun Utuh, Sjahrial SAR Iberahim, dan Durdje Durasid yang karyanya masih relevan dan dipergunakan. ULM juga masih punya Pak Lambut yang tetap sehat dan produktif sampai sekarang.