"Siapa yang melangkah duluan, belum tentu sampai duluan", demikian bunyi status facebook-ku tanggal 21 Juni 2019 yang ditulis dalam bentuk poster. Kalimat yang aku kutip dari ucapan Ki Ratu Senik kepada Ki Rotan dalam novel '7 Manusia Harimau' itu cukup mendapat tanggapan dari beberapa kawan. Yang lebih seru ketika jadi bahan obrolan di kantin ketika rehat kegiatan diklat.
Kalimat nasihat yang amat sugestif itu saya temukan di halaman 62 novel karya Motinggo Busye (1937-1999). Saat itu tokoh Ki Ratu berbincang dengan suaminya, Ki Rotan, yang hendak mencari Kitab Tujuh. Ki Ratu mengingatkan bahwa usaha itu perlu kesabaran karena sudah ada yang lebih dulu melangkah mencari kitab itu. Lantas terucaplah kalimat itu untuk menyemangati suaminya.
Selama ini kita sudah terlanjur akrab dengan adagium bahwa langkah pertama yang baik adalah setengah dari keberhasilan. Adagium itu memotivasi siapa pun agar percaya diri dalam memulai sesuatu dan semangat dalam menjalani langkah berikutnya. Kita meyakini bahwa langkah berikutnya itulah sisa setengah keberhasilan yang bakal kita raih.
"Dan adagium nitu mambahaiayakan!" kata teman ngobrol saya dengan logat Kalua itu. "Kita hanya dibekali promosi bahwa langkah pertama itu sudah setengah dari keberhasilan, tetapi tidak pernah diingatkan bahwa langkah berikutnya itu tidak gampang, tidak semudah yang dibayangkan. Akibatnya tidak siap menerima persaingan karena yang ada di kepala hanyalah keberhasilan."
Saya mengamini itu. Namun, tidak bisa disalahkan juga adagium semacam itu. Tersebab yang justru sulit itu adalah memulai langkah awalnya. Ada banyak orang yang ragu dan tidak berani memulai. Yang ditakutkannya adalah risiko gagal yang bakal dihadapi. Apalagi, misalnya, setelah melihat beratnya beban kerja yang bakal diterima, atau kompetitor yang akan menjadi saingan.
Dr. Martin Luther King Jr. (1928-1968), seorang aktivis Amerika Serikat, justru membuat pernyataan yang menurut saya lebih membahayakan lagi. "Langkah pertama adalah keyakinan. Jangan melihat anak tangga secara keseluruhan. Cukup lakukan langkah pertama". Kita takbisa hanya yakin di anak tangga pertama. Justru di anak tangga berikutnya itulah hidup sebenarnya.
Ada banyak cerita, katakanlah keluh kesah dari rekan-rekan, terutama mereka para karyawan atau pegawai. Bahwa, merekalah yang sebenarnya lebih dahulu bekerja di tempat itu. Merekalah yang pertama membangun organisasi di kantor itu. Namun, mengapa justru orang-orang yang baru masuk, baru bekerja di tempat itu, yang dipromosikan, diangkat ke jabatan yang lebih tinggi.
Ada juga kisah tentang kawan-kawan yang sudah tumbang tumbalik berusaha, macam-macam, jenis bisnis sudah dikerjakan, tetapi tetap tidak kaya-kaya. Sementara, yang lain, tidak banyak yang diusahakan, sudah sugih luar biasa. "Padahal, aku lebih dahulu nang bajualan di sana, bujur-bujur bausaha, kada bacaculasan, kenapa inya nang payu banar, sampai tulak haji dua tiga kali!"
Hidup itu memang misteri. Anda yang memulai, dengan langkah awal yang baik dan melakoninya dengan cara yang benar, tetapi orang lain yang lebih dahulu meraih keberhasilan. Dengan berseloroh saya bilang, ada tiga hal yang membuat kita berhasil. Pertama, punya kompetensi; kedua, ada peluang; dan ketiga -- ini yang membuat tawa teman-teman pecah, 'dijamak Jibril'.
Ya, Anda harus percaya ada campur tangan Tuhan dalam perjalanan karier dan usaha kita. Urang Banjar membahasakannya dengan 'dijamak Jibril'. Jibril sebagai wakil Tuhan itu 'mendelegasikan' lagi tugasnya kepada bos kita di tempat kerja, atasan kita di kantor, para pelanggan kita di pasar, rakyat pemilih kita, entah dengan kriteria apa untuk membuat nasib kita lebih baik.
Namun, Anda juga jangan lantas bagawi satayuh-tayuhnya dan berharap suatu waktu akan dijamak jibril atau beranggapan "tidak ada harapan juga Jibril menjamak diriku, kada siapa-siapa jua aku ni!" Tersebab kontribusi dijamak Jibril hanya sepertiga saja dari syarat keberhasilan. Tetap kompetensi dan peluang lebih dominan dan menjadi dasar. Optimislah!, begitu kata motivator.