"Begitu ada kapal di pelabuhan, aku segera naik ke atas dengan pakaian di badan dan kemudian terdampar di Bali . Dengan ”mengemis”sana ”mengemis” sini aku mendapat ongkos untuk ke Jakarta . Di Jakarta, pembesar pendidikan menengah marah-marah lalu memindahkan aku ke Bima. Dua tahun lamanya aku tak menerima gaji. Bayangkan aku masih hidup dan mengajar terus dalam kebaikan orang-orang di Bima.”
Demikianlah Gerson Poyk, sastrawan Indonesia kelahiran Pulau Rote, NTT, 16 Juni 1931, menceritakan pengalamannya ketika menjadi guru antara 1956 sampai 1963. Catatan itu tercantum dalam Nostalgia Flobamora yang merupakan bagian otobiografi sepenggal perjalanan hidupnya dari masa kecil, masa remaja, sampai ia bersekolah di Surabaya. Catatan yang ia tulis dengan tangan itu diberikannya kepada seorang wartawati Sinar Harapan untuk diketik, tetapi taktahu pasti apakah pernah dimuat di Koran itu atau belum.
Naskah itu kemudian beredar di internet, dimuat secara berseri di satutimor.com, dan diterbitkan dalam bentuk novel biografi 217 halaman oleh Actual Potensia Mandiri, 2015. Dari buku inilah saya memahami apa dan bagaimana hati dan pikiran seorang Gerson Poyk atau lengkapnya Gerson Gubertus Poyk, yang selama ini hanya saya akrabi melalui karya prosanya. Apalagi cerita bagaimana perjuangan dan kesejahteraan menjadi guru pada masa itu. Sangat memprihatinkan dibandingkan kehidupan guru saat ini.
Masyarakat sastra Indonesia dan dunia memang lebih mengenal Gerson Poyk sebagai sastrawan tinimbang guru. Namun, justru ketika mengikuti pendidikan sekolah guru di Kalabahi, di So’E, dan di Surabaya sampai menjalani profesi guru itu, ia mulai menulis karya sastra. Lahirlah cerpen “Mutiara di Tengah Sawah”yang dimuat di majalah Sastra, Edisi Nomor 6, Juni 1961, dan mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik dari majalah pimpinan H.B. Jassin dan M. Balfas itu. Bersama cerpennya yang lain, cerpen itui dibukukan tahun 1984 dengan judul yang sama.
Pengalaman sebagai guru ini mengilhami Gerson Poyk menulis novel “Sang Guru” (SG) (1971) yang mendapat Penghargaan Sastra ASEAN (1972). Novel yang menceritakan perjuangan guru di daerah terpencil di NTT itu menurut sastrawan Eka Budiyanta, seperti dikutip Koran Tempo, edisi 25-26 Februari, lebih literer dan menghayati suka duka guru daripada “Laskar Pelangi” (LP) karya Andrea Hirata yang lebih populer dan bicara dari sudut pandang murid. Sayangnya SG terbit di awal Orde Baru yang nasibnya tidak sebaik LP yang hadir di era reformasi. Saya pikir, novel SG perlu juga difilmkan.
Masyarakat juga lebih mengenal Gerson Poyk sebagai wartawan. Ia alih profesi sebagai wartawan di Koran sore Sinar Harapan, Jakarta, setelah menolak dipindahkan menjadi guru di Banyuwangi tahun 1963. Ia bersyukur menjadi jurnalis , selain karena sesuai keinginan ayahnya, ia juga merasa penghasilannya 40 kali lipat daripada saat menjadi guru. Dan ia justru lebih produktif berkarya baik prosa maupun puisi, seperti novel pertamanya “Hari-hari Pertama” (1968) dan puluhan lagi.
Sebagai wartawan, Gerson Poyk keliling Indonesia seperti ditulis dalam catatannya, “Setelah menjadi wartawan Sinar Harapan, aku mulai menjadi manusia yang suka keluar rumah. … aku mulai kenal kapal terbang maka radius bergadanganku sejauh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara.” Ia berhenti jadi wartawan 1969. Dalam sajaknya ia merekam profesinya itu “seorang mantan guru desa tertatih-tatih / bermodalkan naskah fiksi dan puisi-puisi / menjadi jurnalis koran sore Sinar Harapan / menulis di atas roda sepeda motor butut / ditelan keseharian mesin rutin. “
Secara pribadi saya memang tidak pernah berkomukasi langsung dengan Gerson Poyk. Paling sekadar memandang dari jauh seperti saat Kongres Bahasa Indonesia X 2013. Namun, melihat sosoknya, cara berbicara, info tentangnya, dan tutur bahasa dalam karyanya, terutama cerpennya yang saya sukai, ia memang bukan sembarang sastrawan. Kaya dengan karya yang lebih dari 100 judul dan penghargaan sampai tingkat internasional, tetapi tetap hidup dalam kesederhanaan karena memang bersahaja, sampai akhir hayatnya, Jumat, 24 Februari 2017, pukul 11.00 dalam usia 85 tahun. Selamat jalan Sang Guru! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H