Lihat ke Halaman Asli

Zulfaisal Putera

Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Selfie Dahulu, Sesal Kemudian

Diperbarui: 4 April 2017   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : http://i.huffpost.com

Ternyata tidak gampang selfie itu!! Demikian simpulan saya atas ketidakmampuan dalam membuat foto diri dengan cara selfie. Bermodalkan handphone baru dengan besaran resolusi kamera 20 MP dan tongkat narsis alias tongsis kabel 60 cm, saya jajal kemampuan memfoto diri di sepanjang Thamrin – Sudirman, Jakarta, saat Car Free Day Minggu pagi. Hasilnya? Ada saja kurangnya. Posisi wajah tidak fokus, kelihatan lengan seperti pegang tongkat, dan salah pengaturan cahaya. Namun, bisa juga karena saya memang tidak fotogenik.

Karena ketidakmampuan itulah, saya suka iri dengan mereka yang berhasil selfie. Remaja-remaja, bahkan orang dewasa, sendiri-sendiri atau bersama, pasang aksi saat selfie. Hasilnya bagus dan sempurna. Barangkali saya memang harus serius belajar untuk selfie. Bagaimana pun selfie itu sangat membantu mewujudkan foto diri, tanpa harus meminta bantuan orang lain untuk memfoto. Apalagi bagi Anda yang punya rasa malu tingkat dewa, maka selfie jalan untuk percaya diri untuk berfoto sendiri.

Selfie bukan hal baru. Jauh sebelum kamera handphone hadir, masyarakat sudah berfoto selfie sejak kamera manual. Dengan meletakkan kamera di meja atau kursi, mengatur posisi objek yang akan difoto melalui lubang fokus, dan menyetel timer, maka siaplah berfoto. Si pengatur kamera cepat lari ke titik fokus untuk bergaya dan klik, foto selfie pun terjadi. Itulah yang dilakukan Robert Cornelius suatu hari di tahun 1839 di depan tokonya di Amerika. Sejarah mencatat peristiwa itu sebagai the first ever “selfie”.

Istilah selfie muncul pertama di Australia. Negara ini gemar menambahkan akhiran ‘ie’ atau ‘y’ di belakang kada benda. Contohnya, ‘fire officer’ menjadi ‘firie’. Begitu juga kata ‘self’ ditambah ‘ie’ hingga menjadi ‘selfie’. Dan itu pertama kali diucapkan oleh Nathan Hope, tanggal 13 September 2002, saat dia memajang foto bibirnya di forum daring dengan kalimat “I'm sorry about the focus. It was a selfie”. Istilah ini pun menjadi populer di Indonesia. Karena dianggap asing, Badan Bahasa mengenalkan padanan selfie dengan swafoto. Namun, tampaknya belum berterima.

Maraknya pengambilan foto diri dengan selfie akhir-akhir ini sebenarnya bagian dari perubahan gaya hidup kita. Masyarakat yang makin mandiri dan merasa segalanya bisa diselesaikan sendiri menganggap selfie adalah cara paling aman dan cepat untuk mewujudkan eksistensinya. Mengharap pertolongan orang lain dianggap berisiko. Bukan hanya harus menyediakan upah, minimal ‘terimakasih’, tetapi bisa jadi ketidakpuasan karena hasilnya taksesuai keinginan. Ujung-ujungnya mengomel dalam hati.

Sikap kecewa terhadap pertolongan orang lain yang tidak sesuai harapan harusnya tidak muncul dalam hati kita. Sikap ini akhirnya menumbuhkan masyarakat yang skeptis. Sebagian masyarakat lebih percaya kepada keyakinan dirinya, walau takselalu benar. Guru, aparat keamanan, anggota dewan, bahkan presiden, sepertinya bukanlah lagi orang bisa dipercaya untuk dimintai bantuan karena dianggap tak mampu memahami keinginannya. Bahkan, tokoh agama yang selama ini menjadi rujukan hidup pun, ada segelintir masyarakat yang mulai meragukannya.

Tentu, kita takbisa menyalahkan masyarakat sepenuhnya atas kondisi demikian. Tersebab sesungguhnya masyarakat sudah lama kecewa dengan orang-orang tersebut. Guru, aparat keamanan, anggota dewan, bahkan presiden adalah orang yang dipercaya yang semestinya patut menjadi teladan dan melayani. Begitu juga tokoh agama yang selama ini diharapkan mampu menyejukkan hati, beberapa di antaranya malah memicu emosi dan mengaburkan nalar. Akibatnya, masyarakat melakukan ‘selfie’, bertindak sendiri terhadap segala tindakan yang dianggapnya ‘benar’.

Namun demikian, sesempurnanya cara selfie juga tetap takmemuaskan. Seperti hasil foto dengan cara selfie tetap tidak akan menghasilkan foto yang sempurna. Dengan teknik pengambil kamera depan pada handphone, maka apa pun objek foto akan tampil berbalik pada hasil fotonya. Wajah, bangunan, atau tulisan akan terlihat terbalik. Seperti juga tahi lalat saya yang aslinya di kanan atas bibir, pada hasil foto berpindah ke sebelah kiri. Jadi, takperlulah kita sesal dan marah dengan cara selfie karena itulah pilihan kita untuk melihat dan menunjukkan siapa diri kita.  ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline