Ada satu lagu yang menguras hati dan beberapa hari ini kembali berkumandang di layar televisi. Lagu Aneuk Yatim, dinyanyikan oleh Rafly, dari Aceh. Lagu dalam bahasa Aceh ini bercerita tentang dialog anak kepada ibunya yang kehilangan ayahnya akibat konflik militer di Aceh. Lagu ini populer pascagempa tsunami yang menimpa Aceh 26 Desember 2004. Dan sekarang kembali dialunkan pascagempa 7 Desember 2016.
Saya yakin, siapa pun yang menyimak lagu yang liriknya ditulis oleh Medya Husen, seniman tradisi dari Blang Bintang Aceh Besar ini akan terbawa emosinya. Emosi yang muncul sebagai bentuk empati atas penderitaan saudara-saudara kita di Aceh setelah diluluhlantakkan oleh gempa dahsyat. Sebanyak 130.736 jiwa meninggal dan 37.063 hilang akibat gempa tsunami 9,3 R yang menimpa Banda Aceh dan sekitarnya tahun 2004. Dan yang baru terjadi, gempa 6,5 R di Pidie Jaya, Aceh dan sekitarnya, Rabu, 7 Desember 2016, sampai esai ini ditulis, sudah menelan korban 101 jiwa.
Aceh sepertinya takpernah henti menerima cobaan dari Allah. Penduduk di provinsi di ujung utara pulau Sumatera dan paling barat di Indonesia ini tampaknya harus selalu siap berjibaku dengan maut karena posisi daerahnya. Wilayah seluas 58.377 km² ini secara tektonik memang merupakan kawasan seismik aktif dan cukup kompleks hingga rawan gempa bumi. Tidak heran selama 1936-2016 telah terjadi 22 kali gempa bumi siginifikan di Aceh. Tentu sudah jutaan rakyat Aceh wafat dan ratusan ribu hilang akibat musibah tersebut.
Terlepas dari posisi geografis Aceh yang strategis gempa itu, muncul pertanyaan di benak kita mengapa harus Aceh yang mendapatkan cobaan bertubi tersebut. Padahal sebagai muslim, kita yakin dan percaya Allah sangat menyayangi bumi Aceh. Tersebab di daerah ini asal mulanya penyebaran Islam di Nusantara dan Asia Tenggara, sehingga penduduknya 98 % lebih beragama Islam. Bukankah Aceh sudah menyebut dirinya sebagai Serambi Mekkah, bahkan sudah menerapkan syariat Islam sebagai hukum setempatnya. Lantas apa rahasia di balik ini.
Saya pikir inilah bentuk kasih sayang Allah yang teramat romantis bagi rakyat Aceh. Musibah semacam ini tidak diberikan kepada rakyat Jakarta, Medan, atau Bali, misalnya, yang kehidupannya sudah sangat duniawi. Namun, justru ke tanah rencong yang sangat takzim terhadap Tuhannya. Allah tahu rakyat Aceh sanggup menghadapi ujian ini, seperti yang disampaikan-Nya pada awal surah Al-Baqarah ayat 286. Bahkan, di surah An’am ayat 44, Allah menyebut hamba yang diuji dengan cobaan itu sebagai hamba hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
Jika bisa memilih, mestinya musibah gempa jangan ditimpakan kepada rakyat Aceh. Bahkan, musibah apa pun juga jangan pernah mereka rasakan. Rakyat Aceh bukan hanya punya jasa besar terhadap agama Islam di Indonesia, tetapi bagi perjuangan negeri ini. Pada masa perjuangan, rakyat Aceh urunan uang untuk operasional pemerintahan Indonesia dan mengumpulkan emas untuk biaya beli pesawat dan kapal laut keperluan berperang Indonesia. Bahkan, banyak publik tidak tahu bahwa 28 kg dari 38 kg emas di puncak tugu Monas adalah sumbangan Teuku Markam (1925-1985), orang kaya Aceh zaman Soekarno.
Aceh juga punya hubungan kesejarahan dengan Banua Banjar sejak abad ke-17. Sayid Jalaluddin Aidid, keturunan ke-27 Rasulullah, dari Aceh, pernah datang ke Banjar pada penghujung abad ke-16 beristri Tamami putri Sultan Abdul Kadir Alaudin di Pagatan. Kemudian Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah Johan Berdaulat, raja Aceh (1641-1675) pernah mendapat hadiah kitab tasawuf Nur Muhammad dari Syekh Ahmad Syamsuddin Al-Banjari. Bahkan, Panglima Amir, Panglima Usup, dan Panglima Ali yang berperan dalam Perang Banjar pascawafatnya Sultan Muhammad Seman (1905) adalah orang Aceh yang dibuang Belanda di tanah Banjar.
Aceh adalah Indonesia. Aceh adalah kita. Lagu Aceh memang lagu paling menyedihkan bagi siapa pun. Namun, lagu ini mampu memadukan rakyat Indonesia dalam satu partitur orkestra untuk bahu membahu membantunya. Di tengah lelucon politik dan kasus intolerasi agama yang melanda negeri ini, Aceh telah menjadi pemersatunya, walaupun melalui sebuah momen musibah. “Ube musibah..musibah bek lee troh teuka / Aceh beu aman..beu aman bek lee roe darah..roe darah / Seuramo mekkah..mekkah beukong agama.” (Semua musibah..musibah, jangan lagi datang / Aceh harus aman, jangan lagi tumpah darah / Serambi Mekah, Kuatkan agama), begitulah lirik terakhir lagu Aneuk Yatim berharap untuk Aceh. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H