Lihat ke Halaman Asli

Zulfaisal Putera

Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Kemaluan

Diperbarui: 19 Maret 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Allah itu arsitektur yang mahaindah. Manusia diciptakan-Nya dengan konstruksi tubuh  tepat tempat dan tepat makna. Salah satunya penempatan kemaluan pada lokasi tubuh paling strategis. Bukan di atas kepala, di belakang punggung, atau di betis kaki, melainkan di antara bawah perut dan pangkal kedua paha. Maknanya tentu hanya Allah yang tahu. Namun, dengan akalnya, manusia bisa menafsirkannya, minimal tiga makna:  agar kemaluan itu mudah, (1) digunakan, (2) dikontrol, dan (3) dilindungi.

Dalam bahasa marketing, Allah menyediakan secara purnajual bentuk, bahan, dan fungsinya, dan manusia sebagai user-nya. Artinya, setelah Allah menciptakan dengan segala kreativitas-Nya, maka manusia bertanggung jawab sendiri dalam pengelolaannya. Dalam bahasa saya, manusia berdaulat atas kemaluan yang diberikan. Namun, Allah tidak melepas begitu saja barang ciptaan-Nya. Disertakanlah sejumlah petunjuk penggunaan melalui ayat-ayat di kitab suci dan para nabi-Nya.

Kepatuhan manusia terhadap petunjuk itu tergantung kadar iman dan kemampuannya menggunakan kedaulatannya atas kemaluannya. Bersyukurlah jika menggunakannya sesuai fungsi organik dan filosofisnya. Artinya tidak melampui batas kedaulatan sebagai pengguna. Ada banyak kasus di negeri ini terjadi karena melampaui batas kedaulatan mengelola kemaluannya. Beberapa menganggap aib, tetapi segelintir lain menganggap biasa karena sudah hilang urat malunya.

“Kemaluan” merupakan kata turunan dari “malu”, ‘merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik’. Berbeda dengan bahasa Inggris, “genital” atau “kemaluan” semata bermakna ‘aurat’ atau ‘alat kelamin’. Dalam bahasa Indonesia (KBBI edisi V), “kemaluan’ sebagai alat kelamin sebagai pengertian yang ketiga. Yang pertama, ‘mendapat malu’; dan kedua, ‘hal malu’. Artinya, persoalan kemaluan adalah rasa malu manusia.

Malu itu akhlak, demikian ungkapan indah ajaran agama, dan akhlak itu merujuk kepada kadar iman.  Orang yang tidak malu melakukan perbuatan buruk sering dianggap tidak berakhlak.  Dalam sosiologi, manusia semacam ini bisa digolongkan asosial, segala tindakannya tidak diukur berdasarkan norma yang ada, tetapi semata ambisi. Masih banyak yang menganggap malu persoalan ‘rasa’ sehingga jika suatu bagian di otak kanannya tidak berfungi, maka rasa malunya rendah.

Menurut Virginia Sturm, Ilmuwan dari University of California, San Francisco (2011), ada bagian otak di sebelah kanan depan yang disebut 'pregenual anterior cingulate cortex' sebagai penyebab kunci rasa malu manusia. Semakin kecil bagian otak ini maka semakin sedikit orang punya rasa malu. Bagian inilah  yang bertanggungjawab terhadap muncul tidaknya rasa malu, termasuk mengatur detak jantung dan pernapasan, emosi, perilaku kecanduan, dan pengambilan keputusan.

Tidaklah perlu heran, apalagi sampai merasa mual bila melihat tindakan segelintir orang di negeri ini yang takpunya kemaluan. Bagaimana karena kekuasaannya, orang-orang tersebut secara berjamaah mengorupsi uang negara dengan berbagai cara. Ketika ketahuan, berusaha membuat dalih takterlibat. Ketika terbukti terlibat masih beralasan bahwa dirinya dijebak. Ketika terbukti bersalah dan dipenjara, masih bisa senyum dan menyatakan dirinya dikorbankan. Dan ketika bebas dengan status mantan napi masih menganggap diri orang baik-baik.

“Kemaluan itu harga dirimu”, pesan orang tua saat aku mulai beranjak remaja itu masih kuat melekat di kepalaku. Bisa jadi semua orang tua juga memesankan itu kepada anak-anaknya. Apalagi ajaran agama di negeri ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini sudah menjadi makanan pokok sejak lahir sampai menjadi pejabat dengan sumpah jabatannya yang atas nama Tuhan. Namun, semua takberarti apa-apa ketika manusia sudah takberdaulat lagi terhadap kemaluannya dan justru kemaluanlah yang berdaulat atas manusia.

Tahun 1998, penyair Taufik Ismail menuliskan kegeramannya akan kondisi negeri ini melalui puisi “Malu Aku Jadi Orang Indonesia”. Indonesia seperti yang digambarkan dalam 13 bait 90 larik puisi tersebut tampaknya takberubah Salah satunya seperti yang tengah hangat saat ini: .. / Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu / Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan/ … / Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak/ ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline