Lihat ke Halaman Asli

Zulfaisal Putera

Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Ipau

Diperbarui: 8 Juni 2016   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : Banjarmasin Post / Yayu Fathilal

Saya ingin lanjutkan pembicaraan tentang wadai Banjar yang pernah saya tulis pada kolom ini 21 Juni lalu. Saya memang antusias sekali bicara soal ini karena wadai Banjar adalah aset budaya banua, khususnya bidang kuliner. Apalagi sampai saat ini, sepengetahuan saya, belum ada pembakuan soal ini. Wadai apa saja yang diakui sebagai wadai urang Banjar. Salah satunya adalah yang jadi topik saya minggu ini.

Anda pernah mendengar ‘wadai Ipau’? Atau malah sudah pernah menikmatinya? Sebagian warga kota Banjarmasin mungkin pernah, tapi belum tentu warga Banua yang tinggal di luar kota. Apalagi warga di luar Kalimantan Selatan. Ya, wadai Ipau memang tumbuh dan besar di Banjarmasin dan belum terlalu menyebar ke mana-mana. Dan hadirnya pun biasanya hanya di bulan Ramadan. Jikalau ada di kota lain seperti Ipau , pasti punya nama berbeda.

Wadai Ipau ada berbentuk gulung ada yang berlapis-lapis seperti lempeng. Ipau terbuat dari campuran tepung terigu, telur, wortel, bawang bombay, sayur, kentang dan daging. Penyajiannya disiram kuah santan yang dicampur dengan susu plus taburan daun seledri dan bawang goreng. Bayangkan legitnya. Ada yang bilang wadai ini bentuk lain Petah Asia. Ada juga seperti kue Lasagna. Yang pasti bentuk dan campurannya sudah beda.

Wadai Ipau memang fenomenal lima tahun terakhir. Wadai ini diakui sebagai kue dari Arab. Namun, dari puluhan daftar kue khas Arab, takditemukan satu pun bentuk seperti kue ini, apalagi nama ‘Ipau’-nya. Kalau toh ada Arab-nya, hanya hadirnya daging di dalamnya. Kalau juga ditarik lagi garisnya, pusat penjualan wadai Ipau di Banjarmasin berada di sepanjang jalan Sulawesi yang di ujungnya ada jalan Antasan Kecil yang dikenal sebagai Kampung Arab.

Dari segi penamaan, wadai Ipau takberciri Banjar. Wadai Banjar biasanya diberi nama berdasar empat hal. Pertama, berdasar bahan dasar kue, seperti, Tapai Lakatan (ketan), atau Apam Baras (beras). Kedua, berdasar proses pembuatannya, seperti Pisang Basanga (digoreng) atau Untuk Basumap (dikukus). Ketiga, berdasar bentuk kuenya, seperti Wadai Cincin atau Dadar Gulung. Dan keempat berdasar warna sajiannya, seperti Apam Habang (merah) atau Wadai Lapis Hijau.

Namun, jika ‘Ipau’ diasumsikan sebagai sebuah nama, maka khas Banjar jadi muncul. Orang Banjar punya kebiasaan memanggil nama siapa pun dengan menambah vocal ‘I’ di depan suku pertama nama yang disapa. Nama saya ‘Zul’, sering disapa ‘Izul’. ‘Pau ...” disapa ‘Ipau”. Bisa jadi ‘Pau ...’ itu ‘Pauziah’ karena berciri nama Arab. Banyak yang menduga ‘Ipau’ adalah nama orang pertama membuat wadai itu di Banjar.

Ada asumsi lain yang menyatakan kata ‘Ipau’ merupakan penyimpangan penyebutan dari kata Arab ‘upuu’ yang berarti ‘iris’ atau ‘kerat’. Namun, langsung dibuyarkan oleh teman saya yang orang Arab bahwa banyak kok kue arab yang berupa irisan atau keratan. Bukan hanya ‘Ipau”. Luar biasa. Wadai Ipau memang bukan hanya lezat disantap, tapi juga membuat penasaran.

Saya sangat berharap, siapa pun yang mengurusi soal kuliner sebagai aset budaya Banjar segera mengakomodir kehadiran wadai Ipau sebagai wadai Banjar. Tentu, akan makin menambah senarai wadai Banjar di luar 41 macam wadai tradisional yang sudah populer. Sembari kembali mengingatkan jangan sampai wadai-wadai semacam Ipau ini diakui oleh daerah mana pun karena kelalaian kita. Hidup Ipau. Hidup wadai Banjar. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline