Urang Banjar sesungguhnya takmengenal budaya merayakan Tahun Baru Masehi. Sesuai mayoritas agama yang dianutnya, urang Banjar lebih dekat dengan perayaan Tahun Baru Islam atau yang lebih dikenal sebagai Tahun Baru Hijriah. Pada malam 1 Muharram inilah, umat Islam di Banua mengadakan acara selamatan hidup tahun dengan membacakan shalawat munjiyat atau surat-surat pendek dengan tujuan agar sepanjang tahun nanti diberi keselamatan oleh Allah SWT.
Di pusat keramaian kota dan kabupaten, perayaan Tahun Baru Islam juga melakukan pawai keliling, dengan gerobak atau mobil hias. Di pelosok kampung, penduduk berkeliling jalan kaki dengan membawa obor atau damar dan berakhir di masjid untuk membaca doa. Bahkan, perayaannya berlanjut sampai tanggal 10 Muharram, atau yang disebut dengan hari Asyura, dengan memasak bubur dan membagikannya kepada tetangga dan jiran.
Lantas, sejak kapan Tahun Baru Masehi dirayakan oleh urang Banjar. Takada catatan yang jelas. Namun, jika melihat sejarah lahirnya Tahun Baru Masehi sebagai bagian dari politik Julius Caesar saat dinobatkan sebagai kaisar Roma. Dia memutuskan mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM menjadi kalender Julian. Dan penanggalan inilah yang dipakai bangsa Eropa sebagai patokan awal tahun.
Mengingat penjajah Belanda sudah bercokol di tanah Banjar sekitar awal abad ke-16, maka jelas adat istiadat negerinya juga dibawanya dalam keseharian hidup di banua. Salah satunya, tentu budaya merayakan Tahun Baru Masehi. Para pejabat Belanda dan keluarganya merayakan malam Tahun Baru di halaman rumah tinggalnya di tepi jalan yang menghadap ke sungai. Kemeriahan lampu dan nyala kembang api jelas disaksikan oleh rakyat setempat.
Jika sekarang kenyataannya urang Banua seperti tetap memelihara tradisi merayakan malam Tahun Baru Masehi melebihi kemeriahan malam Tahun Baru Hijriah, maka tentu hal ini juga tidak bisa kita salahkah. Kebiasaan merayakan malam Tahun Baru oleh bangsa penjajah diwarisi oleh para pejabat daerah, dari kota sampai kabupaten. Mereka, baik atas nama pribadi, maupun melalui dinas terkait, memfasilitasi warga merayakan malam pergantian tahun itu.
Pemerintah kota dan kabupaten, tampaknya menyediakan anggaran khusus untuk kemeriahan ini. Lihat saja bagaimana panggung didirikan di pusat kota, lengkap dengan peralatan musik dan artisnya. Begitu juga, puluhan, bahkan ratusan kembang api dengan volume besar disediakan, untuk kemudia disulut sang pejabat tepat ketika detik pergantian tahun. Langit kota jadi bermandikan cahaya dan jalan-jalan takterlihat selanya karena tertutup tubuh ribuan manusia yang bergembira.
Terlepas dari berapa uang yang dihabiskan, kondisi semacam ini memang takbisa dihindarkan. Konsekuensi sebagai sebuah kota dan kabupaten yang modern, dengan masyarakatnya yang majemuk, akan menuntut, secara tidak langsung, pemimpin setempat untuk menghibur warganya. Konsekuensi ini juga berakibat masyarakat jadi menganggap perayaan malam Tahun Baru Masehi itu sebagai agenda budaya wajibnya.
Kita tentu menyadari bahwa sebuah awal tahun takhadir begitu saja. Ia meninggalkan hari-hari tahun sebelumnya yang penuh dengan catatan kehidupan masyarakatnya, baik sebagai pribadi, maupun warga sebuah kota. Setidaknya, mengawali tahun baru dengan melakukan refleksi tahun sebelumnya. Tahun sebelumnya bisa saja hanya meninggalkan bau, bisa sedap, bisa pula taksedap. Namun, menghadapi tahun yang baru harus tetap dengan optimisme.
Para pejabat Banua mestinya tidak sekadar menjadikan malam tahun baru sebagai monumen kepedulian dengan rakyat, tetapi juga tekad, yang tentu diiringi dengan kerja, untuk mewujudkan janji-janji tahun sebelumnya yang belum terwujud dan target-target setahun ke depan untuk dicapai. Rakyat takcukup hanya dikenyangi dengan letusan kembang api dan alunan musik, tapi kesempatan untuk hidup lebih baik, lebih berbudaya, dan bermartabat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H