Lihat ke Halaman Asli

Zulfaisal Putera

Budayawan, Kolumnis, dan ASN

(Re)Solusi

Diperbarui: 20 Maret 2016   01:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada minggu pertama tahun baru tadi, seorang teman sastrawan bertanya kepadaku melalui pesan singkat, “apa resolusiku di Tahun Baru 2015?” Aku jawab, tentu ada. Aku pun bertanya balik apa resolusiya. Dengan lancar dia ungkapkan beberapa resolusinya. Salah satunya akan menerbitkan karya-karyanya yang selama ini masih bertebaran  untuk menjadi buku.

Penggunaan istilah “resolusi” dalam menyikapi hadirnya tahun baru bagi bangsa ini memang mulai akrab satu dasawarsa terakhir. Pengertian resolusi yang biasanya hanya berupa “putusan atau kebulatan pendapat yang berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat”, bergeser kepada sebuah “tuntutan tentang sesuatu hal yang bersifat pribadi atau target yang harus dicapai, pada setiap tahun baru”.

Sebenarnya resolusi tahun baru adalah tradisi sekuler yang umumnya berlaku di negara barat. Menurut tradisi ini, seseorang akan berjanji untuk melakukan tindakan perbaikan diri yang akan dimulai pada hari pertama tahun baru. Tujuannya adalah agar di tahun yang baru terjadi perubahan yang lebih baik berdasarkan koreksi yang dilakukan atas kehidupan tahun sebelumnya.

Tradisi ini dimulai penduduk Babilonia kuno yang berjanji untuk mengembalikan semua benda yang telah dipinjam dan membayar utangnya kepada para dewa yang mereka sembah. Begitu juga bangsa Romawi yang berjanji kepada dewa Janus untuk menegaskan kembali komitmen mereka sebagai satria atau lebih dikenal sebagai “sumpah merak”. Tradisi ini kemudian merambah ke seluruh dunia kepada semua bidang kehidupan.

Sebuah studi tahun 2007 yang dilakukan Richard Wiseman dari Universitas Bristol, menunjukkan bahwa 88% dari 3.000 responden yang memiliki resolusi tahun baru gagal mewujdukannya. Padahal 52% responden yakin pada awalnya akan bisa mewujudkannya. Ada 22% pria berhasil mewujudkannya saat mereka menetapkan target dan 10% wanita berhasil jika mendapat dukungan dari orang terdekat.

Resolusi sebenarnya sangat perlu dan bermanfaat. Sebuah negara beresolusi untuk menetapkan target pemerintahannya dalam menyejahterakan rakyatnya. Sebuah bangsa beresolusi untuk menegaskan tekadnya lebih memuliakan peradabannya. Sebuah rumah tangga beresolusi untuk menguatkan perannya dalam membentuk keluarga yang harmonis. Dan seseorang beresolusi untuk menunjukkan eksistensi kehidupannya yang berkesinambungan agar lebih bermanfaat bagi orang lain.

Namun demikian, kebiasaan beresolusi ini janganlah sekadar sebagai sebuah bentuk kelatahan budaya. Kecenderungan mengikuti sesuatu yang lagi populer jangan sampai membuat kita kehilangan substansinya. Sebuah resolusi yang kita canangkan di awal tahun baru haruslah benar-benar menjadi rel yang harus dilintasi di sepanjang tahun baru yang bakal dijalani. Anggaplah sebagai sebuah solusi yang harus ditempuh.

Untuk menjamin keberhasilan resolusi kita, perlulah menyimak resep Frank Ra, penulis buku resolusi tahun baru “A Course in Happinness”. Frank menyatakan bahwa resolusi akan lebih berkelanjutan bila kita berbagi, baik dalam hal dengan siapa Anda berbagi manfaat dari resolusi Anda, dan dengan siapa Anda berbagi jalan untuk menjaga resolusi Anda. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline