Lihat ke Halaman Asli

Zulfaisal Putera

Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Sang Pujangga

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tengah asyik membaca kembali sejarah sastra Indonesia, saya tergelitik dengan istilah “Pujangga”. Istilah “Pujangga” tampaknya hanya ada dalam catatan sejarah sastra Indonesia pada masa sebelum tahun 1945. Pada periodesasi sastra Indonesia, istilah “Pujangga” muncul dalam penamaan pengklasifikasian karyanya. Pujangga Lama untuk penyebutan sebelum abad ke-20 dan Pujangga Baru mulai muncul setelah selesai Angkatan Balai Pustaka awal 1930-an.

Yang menarik adalah mengapa setelah periode itu istilah “Pujangga” takdigunakan lagi. Justru yang muncul dan poluler sampai saat ini adalah istilah “Penyair” atau lebih luas lagi “Sastrawan”. Padahal dalam kacamata awam, kedua istilah itu dianggap mempunyai makna yang sama, yaitu seseorang yang menulis karya sastra.

Dalam perbincangan suatu pagi melalui media sosial dengan Maman S. Mahayana, seorang kritikus sastra Indonesia, diperoleh banyak pencerahan tentang istilah “Pujangga”. Tersebutlah nama Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan Sanusi Pane yang bermula mengenalkan istilah “Pujangga”, yaitu sebutan untuk pengarang hasil-hasil sastra, baik puisi maupun prosa, atau bisa juga ahli pikir, ahli sastra.

Istilah “Pujangga” direduksi dari kata “Bujangga”. Bujangga adalah sebutan untuk sastrawan keraton, yaitu untuk penulis-penulis yang mengabdikan dirinya di keraton. Salah satu tugasnya melegetimasi keputusan raja atau memberi nasihat yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.

Seorang bujangga ditempatkan dalam status yang terhormat, sebab dipercaya tidak hanya mempunyai kearifan dan kebijaksanaan hidup, tetapi juga punya pemikiran visioner (dapat meramal berbagai peristiwa yang akan datang). Jayabaya adalah contoh bujangga. Jadi, sangat terasa eksklusifnya istilah itu.

Pengertian “Pujangga” sudah keluar dari ranah itu, yaitu hanya kepada para penulis puisi (sastra) baru yang tidak lagi menulis syair, pantun, dan gurindam. Namun, “Pujangga” hanya bertahan sampai zaman Jepang dan berganti menjadi “Penyair” yang berasal dari kata “sy’ir” (bahasa Arab) yang artinya penulis puisi. “Penyair” ramai digunakan pada saat terjadi polemik tahun 1947-1948 mengenai penamaan Angkatan 45. Istilah ini tampaknya hadir menyertai  munculnya istilah “Sastrawan” pada saat itu sebagai sebutan orang yang bekerja atau berprofesi dibidang sastra.

Pertanyaan sekarang, apakah istilah “Pujangga” masih bisa kita gunakan pada zaman sekarang? Jika melihat pada karakteristik karya yang muncul pada masa istilah “Pujangga” digunakan, tampaknya ada spesifikasi khusus. Ketika masa Pujangga Lama hadir karya halus budi dalam syair, pantun, dan gurindam; dan masa Pujangga Baru muncul karya dengan nasionalisme-nya, maka kemungkinan untuk itu masih terbuka.

Perkembangan sastra Indonesia modern yang tetap takmeningglkan akar budaya bangsa memberi peluang para sastrawan untuk disebut sebagai sang pujangga. Apalagi tumbuhnya kerinduan terhadap penulisan puisi-puisi lama, terutama di banua Kalimantan. Beberapa nama seperti Mudjahiddin, Iberamsyah Barbary, Maria Roesli, dan Selamat Bakumpai, yang takzim menulis syair, pantun, dan gurindam, layaklah mereka kita sebut Pujangga Banua. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline