Lihat ke Halaman Asli

Sederhana, Cukup Kasih Sayang

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senyumanku akan selalu memberi arti, akan selalu membekas di hati. Seketika aku teringat, hatiku akan merasa bebas dan tenang. Perasaan itu tak akan pernah lepas dari benakku, semuanya selalu terlintas tanpa terfikirkan sebelumnya, aku menatap dunia dan inilah hidupku yang sebenarnya. Keadaan ini yang memaksaku untuk bersikap seperti ini, menjalani semuanya dengan kesendirian dan hanya ada rasa sepi yang melanda. Tak sadar Risa duduk disampingku menatapku dengan terdiam, senyumnya seakan menyapaku.

“ Mengapa kau memandangku seperti ini Ris?” Tanyaku pada Risa

Risa hanya tersenyum, memandangku dengan sedikit geli.

“ Kenapa sih Ris, emangnya ada yang salah? Apa hari ini aku tampil dengan sedikit berbeda? Atau…”

Belum selesai aku bicara, Ferza sudah memotong perkataanku

“ Tidak, nggak ada yang salah kok, aku hanya sedikit berfikir ada apa dengan dirimu yang membuat kau terdiam seperti ini.” Jawab Ferza

“ Ku rasa tidak penting untuk membicarakannya, sudahlah bukan saatnya untuk kau mendengarkan curahan hatiku”

“ Kenapa tidak? Bukannya selama ini kau selalu membicarakannya padaku?”

“ Ku rasa kau akan tahu jawabannya, tapi tidak sekarang” Lanjutku

“ Terserah, tapi aku tidak akan memaksamu untuk menyatakannya sekarang, yah… mungkin kamu punya waktu yang menurutmu paling baik”

“ Ya, mungkin saja seperti itu”

Dihadapan Risa aku begitu berbeda tapi, dihadapan teman-teman yang lain aku tampak seperti biasa saja, mungkin karena mereka tak pernah merasakan apa yang sedang aku rasakan. Sedangkan Afiq tak hentinya melakukan hal-hal aneh dihadapanku, aku hanya bisa tertawa geli melihatnya, tapi hatiku tak pernah lepas dari rasa sepi itu. Entah apa yang aku rasakan, terkadang aku tidak mengerti perasaan itu sendiri.

Sepulang sekolah, aku melentangkan badanku di atas kasur tepatnya di dalam kamar tidurku, tempat favorite utamaku. Aku berfikir, apa aku harus mengikuti jalan ini? Semoga ini bukanlah jalan yang salah yang aku tempuh. Tanyaku dalam hati. Kemudian hatiku terus berbisik, bahwa perasaan itu akan selalu ada dan takkan pernah lepas, walaupun mungkin hatiku sedikit sakit, jiwaku akan selalu merasa tegar.

Pagi itu di hari Minggu…

Hidup ini takkan pernah terlepas dari masalah dan godaan, dan ketika kita tegar menghadapinya, selalu ada cara untuk menyelesaikannya. Mungkin ini kalimat yang paling tepat untuk aku ungkapkan dengan keadaanku sekarang. Walaupun mungkin, aku belum punya jalan keluar untuk masalah ini. Matahari yang menyinari bumi dengan cerah, tak secerah hatiku. Mama menatapku, tapi aku tak sadar itu. Aku kaget, takku sangka ia ada di sampingku. Mama menepuk pundakku ingin menyapa.

“ Kenapa ma, ada yang salah?”

“ Nggak, mama cuma heran saja, tumben anak mama yang cantik ini ada di rumah pagi-pagi begini di hari libur?”

“ Emangnya salah yah, ma?”

“ Nggak. Oh iya, mama dan papa ada pekerjaan diluar kota. Tapi, pekerjaan itu tidak akan cepat selesai sayang, butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Mama akan sesekali pulang ke rumah untuk melihat keadaanmu, Risa nggak papa kan, sendiri di rumah?”

“ Nggak, mama dan papa pergi aja, Risa baik-baik aja kok di rumah, yah paling-paling kalau Risa nggak mood di rumah, Risa bisa pergi nongkrong sama teman-teman Risa kan?”

“ Yah, selama anak mama bisa jaga diri, mama akan mengizinkan Risa”

Aku hanya tersenyum mendengar jawaban mama. Seandainya papa, mungkin dia akan marah-marah kalau Risa nggak ada di rumah. Sebenarnya, Risa juga merasa sedih kalau mama dan papa nggak ada di rumah. Tapi, karena mereka jarang di rumah, aku juga merasa nggak nyaman tinggal sendiri di rumah jadi, aku sudah terbiasa untuk tidak di rumah. Dalam sehari saja, sangat sulit untuk berjumpa dengan mereka.

“ Tapi papa biasanya kan marah-marah?” Lanjutku

“ Sudahlah, nggak usah ngasih tahu ke papa, nanti mama yang bicara ke papa” Jawab mama.

Selama mama nggak ada di rumah, jarang sekali aku berada di rumah, bahkan hampir seharian biasanya nggak pulang-pulang ke rumah. Itu karena orang tua jarang mengontrol keadaan aku, mereka hanya sibuk dengan pekerjaannya sementara aku sudah tidak begitu dipedulikan lagi. Bahkan, aku bisa dikatakan sebagai gadis liar. Cukup mengerikan sebutan itu untuk gadis belia sepertiku. Mengapa tidak, aku yang biasanya betah di rumah sekarang tidak lagi karena kesibukan orang tua yang membuat ku menjadi liar. Sebenarnya, aku sangat mengharapkan kehadiran mereka di hari libur seperti ini. Tapi, mereka tak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Mungkin, itu karena mereka menganggap bahwa aku sudah dewasa namun begitu, aku juga butuh orang yang peduli dan bisa menjagaku sepenuhnya.

Hari ini merupakan hari ke tiga mama dan papa nggak ada di rumah, aku lebih memilih untuk tidak berada di rumah. Bahkan, sekolahku sudah ku abaikan sepertinya aku sudah tidak peduli lagi dengan pendidikan yang ku jalani. Sesekali aku hanya bicara dengannya melalui handphone kadang, mama bertanya mengenai pelajaran di sekolah aku hanya bisa berkata semuanya baik-baik saja. Padahal itu semuanya bohong. Terkadang pula Ferza menghubungiku lewat handphone, aku tidak pernah mengangkatnya. Kali ini, Ferza begitu bingung, selama aku berteman dengannya aku baik-baik saja tapi sekarang entah mengapa dia heran melihat perubahanku. Aku sekarang lebih cepat berubah bahkan, aku sudah tidak mau mendengar nasehatnya lagi, aku sering menghindar ketika berjumpa dengannya itu karena aku sudah tidak mau mendengar ocehan-ocehannya lagi.

Setelah beberapa hari bolos nggak masuk sekolah, akhirnya aku memutuskan untuk masuk sekolah di hari Rabu ini. Takku sangka baru memasuki gerbang sekolah, Ferza tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang, jelas saja aku kaget melihatnya di hadapanku. Rasanya, aku ingin lari darinya tapi, tak bisa, kakiku serasa tak kuat untuk berlari karena melihat Ferza dihadapanku.

“ Kaget yah, Ris? Maaf yah!”

“ Jelaslah aku kaget”

“ Iya, iya aku minta maaf yah. Oh yah, kamu selama ini dari mana saja, kok nggak pernah masuk sekolah?”

“ Emangnya kenapa, kangen ma aku ya?”

“ Kamu bisa saja deh”

“ Emangnya dari mana sih? Ditelpon juga nggak diangkat, rumahnya didatangi nggak ada orang. Emangnya ke mana sih?” Tanya Ferza dengan sinis, serasa mau mengintrogasiku.

Aku kagetmendengar kalimat yang barusan diucapkan oleh Ferza. Mangapa tidak, jadi selama ini dia pernah datang ke rumah sewaktu aku tidak ada? Aku begitu kaget mendengarnya.

“ Lagi sibuk, banyak urusan” Jawabku dengan sedikit segan padanya

“ Ah, sok sibuk. Emangnya sibuk apaan sih?” Jawab Ferza dengan sedikit bercanda

“ Mau tahu aja, nggak penting kok buat kamu”

“ Oh yah, kok bisa gitu sih?”

“ Yah nggak masalah”

“ Baiklah kalau begitu”

Kemudian aku berjalan menuju kelas seiring dengan Ferza, ada rasa sedikit rasa segan yang tertanam dalam hatiku sedangkan pikiranku sudah melayang-layang. Pelajaran disekolah sudah sulit aku terima dengan baik, aku hanya merasa ingin bebas dari ruangan ini. Tapi, semuanya nggak bisa aku lakukan, aku harus menahannya sampai jam pulang sekolah tiba itu karena Ferza selalu berada di sampingku.

Sepulang dari sekolah, aku tidak langsung pulang, tasku sudah berisi pakaian ganti untuk menuju suatu tempat di mana aku biasanya bergabung dengan teman-teman yang membuatku kecanduan berada di tempat itu. Bisa dikatakan, tempat itu adalah sebuah rumah kecil di mana aku bisa terbebas dari ocehan Ferza dan segala larangan-larangan dari papa. Seperti biasa terkadang aku menyantap makan siang dan makan malamku di sana kemudian ngobrol sampai lupa waktu, kalau ini sudah larut malam. Terkadang pula, sulit untuk menentukan apa yang harus menjadi kegiatan selanjutnya. Segala aktivitas yang sering ku lakukan sekarang sudah tidak lagi, semuanya membuatku begitu malas untuk mengerjakannya. Bersama teman-teman yang lain, kami menghabiskan banyak waktu, tertawa dan pergi saja—entah ke mana. Melupakan banyak hal.

Handphone ku berdering, ku lihat siapa yang memanggil, ternyata papa, dengan sedikit rasa kaget aku tetap menekan tombol hijau di handphone itu. Aku bicara dengan papa tapi, papa hanya menanyakan kabarku dan posisiku sekarang ini, tentu aku tak bisa bohong ke papa, terpaksa aku harus mengatakan kalau aku sedang ngumpul bareng bersama teman-teman di suatu rumah. Setelah itu, papa menyuruhku untuk pulang. Lagi-lagi, papa menasehatiku lagi, katanya nggak baik seorang gadis sepertiku tidak berada di rumah di malam hari. Kemudian, aku menyadarinya dan kemudian berjalan untuk mengambil ranselku yang kuletakkan di atas meja makan.

Sampai di rumah, aku kaget melihat papa dan mama sudah duduk di sofa ruang tamu.Aku tak percaya kalau mereka ada disini. Bukannya tadi papa bilang kalau dia ada meeting? Tanyaku dalam hati. Papa langsung menatapku dengan tatapan sinisnya, jantung terasa ingin berhenti berdenyut, aku begitu kaget melihat kehadiran mereka berdua.

“ Dari mana saja?” Tanya papa dengan nada tegas

“ Cuma dari rumah teman untuk menyelesaikan tugas”

“ Tapi kenapa sampai larut malam seperti ini?”

“ Tadi aku berniat untuk menginap di rumah teman. Tapi, papa suruh pulang jadi aku pulang” Sahutku

“ Papa dan mama tahu apa yang kamu kerjakan selama kami tidak ada di rumah”

“ Ah, papa sok tahu deh” Jawabku dengan sedikit bercanda agar suasana sedikit dingin

“ Papa tidak sedang bercanda Risa, papa serius”

Aku hanya bisa terdiam mendengar papa marah-marah dihadapanku. Aku muak mendengar kalimat-kalimat yang dilontarkan papa ke hadapanku kalau ia ingin Risa menjadi gadis impian dan mulia, tapi itu semua tak sesuai dengan keinginan papa dan mama. Papa dan mama juga selalu bilang, kalau ia bekerja demi anak semata wayangnya, Risa. Tapi, aku tidak bahagia dengan materi yang selalu papa berikan selama ini, aku juga butuh kasih sayang mereka sebagaimana Ferza yang selalu didampingi oleh kedua orang tuanya, betapa irinya aku ketika melihat mereka.

“ Mama sangat kecewa ke Risa. Kenapa sih, Risa harus bohong?” Tanya mama dengan sedikit kesal

Aku kembali terdiam, aku serasa tak bisa berkata apa-apa dihadapan mereka. Ketika aku harus jujur, aku sadar bahwa apa yang aku lakukan merupakan suatu kesalahan yang fatal.

“ Kalian, yang tidak mengerti Risa, kalian selalu sibuk dengan pekerjaan kalian, sedangkan aku, butuh perhatian dari mama dan papa. Kenapa sih, kalian nggak pernah tahu isi hatiku?” Jawabku dengan sedikit kasar

Kedua orang tuaku pun terdiam, sedangkan aku tak begitu sadar dengan apa yang aku katakan. Tak sadar, aku meneteskan air mata.

“ Aku butuh mama dan papa disaat apa pun, seharusnya mama dan papa paham itu semua, bukannya membebaskanku mencurahkan semuanya kepada Ferza. Kalaupun memang begitu, aku juga ingin mama mendengarkan semua isi hatiku” Lanjutku

“ Papa dan mama tak pernah bermaksud untuk bersikap seperti itu sayang, keadaan ini yang memaksa mama dan papa melakukannya” sahut mama

“ Jangan pernah berkata seperti itu Risa,kamau tidak sopan” sahut papa

“ Risa emang salah pa, tapi papa juga harus tahu Risa dong! Sekarang dari mana papa tahu kalau aku jarang di rumah dan sering bolos sekolah?” Tanyaku

“ Semuanya dari Ferza. Papa minta maaf sayang, tapi Ferza melihatmu jalan dengan seorang laki-laki berduaan di sebuah kafe pada malam hari”

Aku tak menyangka Ferza melihatku malam itu bersama teman ngobrolku. Ku pikir, tak ada siapapun yang mengenaliku, tapi ternyata di sana ada Ferza yang melihatku. Sungguh sulit dipercaya.

“ Aku mengakuinya pa, aku minta maaf. Tapi, itu Risa lakukan karena Risa selalu merasa sepi di rumah, nggak ada yang bisa mendengarkan Risa”

Papa merangkul Risa. Aku tidak percaya semuanya bisa beubah seakan-akan menyadarkan Risa atas semua kelakuan-kelakuan Risa selama ini. Aku hanya bisa berharap kalau papa dan mama bisa mengertiku.

“ Papa dan mama akan mengerti kamu sayang” Lanjut papa

Aku tersenyum mendengarnya, kemudian aku juga memeluk mama sekuat-kuatnya. Rasanya, aku sudah mencurahkan segalanya ke papa dan mama.

Di sekolah, keesokan harinya…

Aku bertemudengan Ferza, tak lupa ku ucapkan terima kasih atas semuanya, sekarang Risa sudah sadar akan semua yang Risa lakukan selama ini. Ferza hanya membalasnya dengan senyuman manisnya. Mungkin, itu bertanda kalau ia bangga memiliki teman sepertiku. Walaupun hatiku sedikit bertanya kenapa Ferza bisa melihatku malam itu. Tapi, bagiku itu semua bukanlah hal penting, semuanya sudah berlalu. Risa sudah sadar akan semuanya. Dalam hati aku hanya bisa berkata ini adalah sebuah petunjuk untuk aku bisa menjadi seorang gadis impian seperti papa dan mama inginkan selama ini dari ku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline