Lihat ke Halaman Asli

Hujan Tak Pernah Salah

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin kau tak mengingatnya. Atau bahkan kau mungkin takkan pernah mengingatnya, ketika dulu hujan menjadi saksi bisu yang diam-diam menyelinap dan mempertemukan mata kita dalam satu tatapan untuk yang pertama kalinya. Ah sudahlah, lagipula tak ada gunanya jika kau mengingatnya. Tapi satu yang perlu kau ingat, aku takkan melupakan hal itu. Aku takkan melupakan bahwa pernah ada cerita antara kita dan hujan.

"Ah sial! Kenapa harus hujan segala!!" Bentak orang di sampingku kesal seraya menghentak-hentakkan kakinya tak jelas. Aku menoleh.
"Hujan, hujan, hujaaaaann terus!!!" Orang itu mengacak-ngacak rambutnya seperti orang stress. Hey, kenapa kelihatannya dia sangat membenci hujan? Aku terus memperhatikannya.
"Kenapa harus ada hujan di dunia ini?!" Kali ini orang yang belum tampak wajahnya itu benar-benar bersikap seperti orang gila.
"Hey," aku memanggil pelan. Lelaki muda itu tersentak dan menoleh ke arahku. Aku menatapnya seraya tersenyum.
"Aku?" Tanyanya seraya menunjuk batang hidungnya, kemudian celingak-celinguk tak jelas. Aku terkekeh.
"Hey, kenapa malah tertawa? Apa kau yang memanggilku tadi?"
"Apakah kau sadar? Sikapmu sedari tadi persis seperti orang gila!" Aku kembali terkekeh.
"Hah? Sejak kapan kau memperhatikanku?"
"Itu tak penting. Lagipula, kenapa kau kelihatannya begitu membenci hujan?"
"Aku tak pernah suka hujan! Aku benci hujan!"
"Kenapa?"
Dia terhening sejenak, lalu menyahut, "Kenapa kau banyak bertanya seperti ini?"
"Kenapa kau tak bisa mengungkapkan alasanmu membenci hujan?" Aku malah balik bertanya.
"Ah sudahlah, itu semua tak penting. Yang pasti aku benci hujan!!"
Lalu kami berdua larut dalam kesunyian. Tak banyak orang yang berteduh di halte yang tak terurus ini. Hanya kami berdua, ditambah beberapa orang di sekitar kami. Nyanyian indah derasnya hujan melatari keheningan di antara kami berdua.
"Aku suka hujan," aku kembali membuka pembicaraan. Dia menoleh.
"Kenapa?"
"Karena hujan selalu membuatku tenang," sahutku seadanya. "Rintik hujan selalu membawa kesejukkan tersendiri. Suara air hujan yang bersenandung juga membawa kebahagiaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya."
"Kenapa bisa begitu?"
"Entahlah," aku mendesah pelan. "Memang banyak cerita bahagia dalam hidupku terjadi ketika hujan. Tapi kurasa bukan itu yang menjadi alasanku untuk mencintai hujan."
Pandangannya beralih, kembali menatap lurus ke depan, menatap bulir-bulir air hujan yang tak henti-hentinya menetes.
"Kau sudah tau alasanku mencintai hujan, bukan? Sekarang giliranmu bercerita, kenapa kau membenci hujan?" Aku menoleh, menatap lekat wajahnya.
Dia terhening untuk beberapa saat. Pandangannya kosong menerobos rinai hujan. Dia tetap bergeming.
"Hey," aku melambai-lambaikan tanganku di hadapan wajahnya. Dia sedikit tersentak, lalu menoleh.
"Maaf, apakah aku harus bercerita tentang hal ini padamu?" Nadanya terkesan memelas. Aku jadi merasa tak enak.
Aku kembali menatap lurus ke depan. "Tak apa jika kau tak mau bercerita. Lagipula, itu ceritamu dengan hujan. Aku berhak untuk tak mengetahuinya."
"Tahukah kau?" Dia kembali bersuara. Aku menoleh. Suara hujan kian melemah, sepertinya akan reda. Ah tidak, aku tak pernah ingin hujan reda. Lagipula, entah kenapa, rasanya aku menolak berpisah dengan lelaki yang bahkan belum kuketahui namanya ini. "Sebenarnya dulu aku suka hujan," sahutnya pelan, dengan nada gamang.
"Kenapa? Kenapa sekarang kau begitu membenci hujan?"
"Ketika itu rasanya semua masih begitu mudah untuk dijalani. Tapi setelah hujan merenggut semua kebahagiaanku, aku tak pernah mengharapkan hujan hadir kembali dalam kehidupanku."
Aku terdiam. "Aku punya cerita tentang hujan, kamu punya cerita tentang hujan. Setiap orang punya cerita tersendiri dengan hujan."
"Apa ceritamu dengan hujan?" Dia tampak bersemangat.
"Begitu banyak, tak bisa kusebutkan satu per satu."
"Apakah semua itu kenangan bahagia?"
"Sebagian besar, ya."
"Ah, andai saja aku punya cerita tentang hujan sepertimu. Pantas saja kamu selalu bahagia ketika hujan turun."
"Dari mana kau tau aku selalu bahagia saat hujan turun?"
"Tadi kau bilang, kau suka hujan, bukan?"
"Ya, aku memang suka hujan. Tapi tak semua kenanganku itu bahagia, dan aku tak selalu bahagia ketika hujan turun."
"Kenapa kau tak selalu bahagia ketika hujan turun? Bukankah itu membuatmu bahagia, mempunyai banyak kenangan indah bersama hujan?"
"Ya, sebagian besar kebahagiaan di hidupku memang terjadi ketika hujan. Tapi tak jarang aku menangis karenanya?"
"Kenapa?"
"Tahukah kamu, kadang bukan kenangan sedihlah yang membuat kita bersedih ketika dikenang kembali. Tapi kenangan bahagialah yang membuat kita bersedih, karena kita tahu bahwa kita tak lagi bisa merasakan kebahagiaan saat itu."
Dia terhenyak. Diam dalam beberapa saat sebelum akhirnya aku kembali bersuara, "Memang banyak kejadian membahagiakan dalam hidupku terjadi ketika hujan. Kadang aku bahagia ketika hujan turun, karena keheningan yang diciptakan hujan bisa membuatku bisa kembali merasakan kebahagiaan hari itu. Tapi tak jarang aku menangis karenanya. Menangis karena menyadari bahwa kenangan itu takkan pernah kembali lagi. Tapi itu tak membuat aku membenci hujan. Entahlah, bagaimanapun juga aku tetap suka hujan."
Dia larut dalam diam.
"Mungkin itulah alasan kenapa aku membenci hujan."
Aku menoleh. "Maksudmu?"
"Hujan memang selalu identik dengan kesedihan."
"Jadi kau selalu sedih ketika hujan datang?"
"Tidak juga, tapi lebih kurangnya begitu. Hujan yang telah merenggut kebahagiaanku."
"Apa kamu yakin?"
"Yakin akan apa?"
Aku terdiam sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. Hujan yang semula hendak berhenti menyenandungkan derainya, kembali riang bersenandung dalam sepi.
"Apa kamu yakin, hujan yang merenggut kebahagiaanmu?"
"Apa maksudmu?"
"Sebagian besar kebahagiaanku memang kurasakan ketika hujan turun, tapi bukan berarti hujanlah yang memberikan kebahagiaan itu untukku."
"Jadi, bukan hujan yang merenggut kebahagiaanku?"
"Ya. Itu hanya sugestimu saja. Bukan hujan yang memberikan bahagiaku, bukan juga hujan yang merenggut bahagiamu. Jangan membenci hujan, hujan tak pernah salah."
"Tapi hujan selalu membuatku mengingat kesedihan hari itu."
"Sebenarnya, kesedihan apa yang kau maksud?"
"Ayahku meninggalkanku untuk selamanya ketika hujan deras."
Aku terhenyak.
"Tak hanya itu. Ketika hujan juga, kekasihku pergi meninggalkanku. Banyak kisah sedih di balik hujan. Aku tak pernah menyukai hujan semenjak semua kebahagiaanku telah direnggutnya."
"Hey, sadarlah! Bukan hujan yang merenggut bahagiamu! Itu semua sudah takdir Tuhan!"
"Bagaimana bisa kau menyebut bahwa itu semua takdir Tuhan?"
"Semua yang ada di dunia ini ditentukan oleh Tuhan, bukan hujan. Bahkan Tuhan-lah yang mengatur turunnya hujan. Setidaknya bersyukurlah, kau pernah memiliki ayah dan kekasih sepertinya, walau kini mereka telah pergi dari hidupmu."
"Ah sudahlah, tak usah mengguruiku, kau takkan pernah mengerti apa yang kurasakan."
"Ya, mungkin sebagian besar sedihmu dirasakan ketika hujan. Tapi ingatlah, Tuhan tak pernah menjanjikan langit selalu terang, karena Tuhan juga menciptakan hujan, dan di balik hujan itu tersisip pelangi. Yakinlah, hidupmu takkan selalu bahagia, selalu ada kesedihan di dalamnya, dan di balik kesedihan itu selalu ada hikmah yang tersimpan. Begitu juga, awan tak selamanya berkelabu, ada saatnya matahari kan bersinar kembali."
Dia hanya menjawab dalam diam. Hujan mulai berhenti menari-nari di hadapan kami. "Aku harus pulang," ujarnya pelan.
"Hey, kenapa terburu-buru? Maafkan aku jika aku terlalu mengguruimu."
"Tidak, aku bukan ingin pergi karena mendengar ceramahmu itu, tapi aku memang harus buru-buru," dia menyambar helmnya dan mulai mengenakannya.
"Aku tau, setiap orang punya hak untuk membenci. Tapi aku harap, kau tak lagi membenci hujan, bukan hujanlah yang merenggut bahagiamu. Itu semua takdir Tuhan."
Dia menoleh seraya mengenakan helmnya, "Ya, aku justru berterimakasih untuk celotehan superpanjangmu itu. Sepertinya mulai sekarang aku harus mulai berusaha mencintai hujan," sahutnya berbalut senyuman. Aku balas tersenyum. "Tapi sekarang aku benar-benar sedang terburu-buru. Senang berkenalan denganmu, semoga suatu saat kita bisa berjumpa kembali," sahutnya seraya berjalan ke arah Mio Soul-nya.
Aku hanya diam tanpa kata. Entah kenapa, bibirku rasanya sontak terkunci rapat setelah melihat senyuman di bibirnya. Baru kusadari, sedari tadi dia hanya menjawab pertanyaanku hanya dengan tatapan dingin, dan baru kali inilah dia tersenyum padaku.
"Terima kasih, sampai jumpa lagi," sahutnya seraya menyalakan gas dan berlalu dalam gerimis, masih dalam senyuman.
Kala itu perasaanku masih menari-nari bersama rintik gerimis yang turun satu persatu, sampai saja tiba-tiba aku terhenyak ketika menyadari lelaki tampan yang sedari tadi kuajak bicara, siapa dia? Bahkan, namanya pun aku tak tahu. Kemudian perasaanku berkecamuk, ingin rasanya aku berlari menerobos gerimis, mengejar lelaki tampan tadi, hanya untuk menanyakan namanya, tapi kakiku tak bergerak, diam, kaku dalam keheningan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline