Lihat ke Halaman Asli

"Gue... Suka Sama Lo"

Diperbarui: 25 Juni 2015   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Gue... suka sama lo," ujarku pelan. Dia terhenyak.

***

Sore ini gelap. Arlojiku sudah menunjukkan pukul  17.00. Ditemani rintik-rintik hujan di luar, aku berlari melewati lorong sekolah, menuju gerbang. Seharusnya aku sudah meninggalkan sekolah menyebalkan ini sejak pukul 13.00. Tapi ada satu hal yang memalukan, yang mengharuskanku menghabiskan waktuku untuk terkunci tak berdaya di toilet sekolah, hingga aku baru bisa pulang sekarang. Sebenarnya aku ingin saja melewati bagian memalukan ini, tapi aku tak bisa menghapusnya, karena inilah awal ceritaku.

Aku tiba-tiba tersentak dan buru-buru menghentikan langkahku. Rasanya tadi aku melihat Reza. Kuseret kakiku menuju beberapa senti di belakangku. Aku menoleh ke ruang tamu sekolah yang menembus ke halaman depan sekolah. Kosong. Tak ada siapa-siapa di sana. Jadi siapa yang kulihat tadi? Sejenak aku berpikir, sebelum akhirnya melesat menuju parkiran motor.

***

Aku menatapnya dalam-dalam. Matanya jeli meneliti soal sambil sesekali balas menatapku. Tangannya dengan lincah menunjuk-nunjuk angka-angka sulit yang tertera di buku latihan. Mulutnya komat kamit sambil menjelaskan sesuatu padaku. Di mataku, dia tak seperti seseorang yang sedang mengajarkan matematika. Tapi dia seperti dukun cinta yang termakan mantranya sendiri.

“Hei! Lo ngerti gak sih? Kok gue tanya diem aja dari tadi?”

Aku terhentak. Gertakannya menghempaskanku kembali ke bumi setelah melayang sekian tingginya.

“Eh, iya. Gue ngerti kok,” ujarku gugup. Aku memaksakan senyumku. Lebih pantas disebut nyengir.

“Emang gimana? Coba ulangin.” Kemudian hening.

***

Anak band, ketua OSIS, juara kelas, juara olimpiade fisika pula. Namanya Bisma. Lengkapnya Bisma Rianisma. Sosoknya persis seperti cowok idola yang ada di novel-novel remaja ataupun komik-komik Jepang. Satu yang berbeda. Kalau tokoh-tokoh novel kebanyakan playboy, Bisma jomblo abadi. Entah apa yang membuatnya terkesan tak tertarik berapcaran. Padahal sudah puluhan cewek di sekolah yang menyatakan cinta padanya. Tapi semuanya ditolak secara halus. Dan itu justru membuatku makin menyimpan hati padanya.

Apalagi ketika kejadian di toilet sekolah beberapa hari lalu. Sore itu ia belum pulang karena sedang mengurus beberapa berkas OSIS. Dan dialah yang mendengar teriakanku dari arah toilet, dan kemudian menolongku. Sejak hari itu, kami jadi dekat. Bisma nyaris tak percaya ketika kukatakan bahwa aku sedang tertidur di kelas sebelum akhirnya tiba-tiba terdampar di toilet. Aneh memang.

***

Aku mengintip keluar kelas. Bisma ada di depan kelasnya, duduk di kursi panjang di selasar depan kelasnya, sambil membaca sebuah buku. Aku ingin menghampirinya. Tapi sebagian hatiku ragu, dan sebagian lagi menahan malu. Setahuku Bisma tak mau diajak ke kantin. Dia lebih senang mengajarkan fisika, matematika, atau pelajaran hitungan lainnya. Huft, mungkin tak seharusnya aku mengajaknya. Lebih baik aku meminta Bu Indri untuk memberikan PR Fisika yang banyak.

***

Sekolah gempar. Anak-anak XII IPA 1 bergerombol di UKS. Bisma juga ada di sana. Aku mendengar kabar burung, seorang teman Bisma menemukan Kak Dion, kapten basket sekaligus kakaknya Bisma, kejang-kejang di toilet sekolah ketika pulang sekolah. Mulutnya berbusa. Beberapa mencurigai bahwa Kak Dion mengkonsumsi obat terlarang. Tapi tak ditemukan bukti apapun mengenai hal ini. Aneh.

Aku sedikit mengintip ke UKS, melihat keadaan Kak Dion. UKS saat itu penuh sesak oleh teman-teman sekelas Kak Dion. Butuh melompat untuk bisa melihatnya dari luar. Tak lama kemudian ambulance datang, dan Kak Dion dibawa ke rumah sakit. Aku melihat sekelebat bayangan ketika aku hendak meninggalkan UKS. Tapi ketika aku menoleh, bayangan itu lenyap begitu saja.

***

Sebenarnya tak sedikit kejadian janggal semenjak gedung baru sekolah kami dibangun. Dan kejadiannya selalu di sekitar toilet. Sebenarnya aku sedikit merinding setiap mengingat cerita ini. Tapi aku pun pernah mengalami peristiwa janggal itu, salah satunya terkunci di toilet.

Sebelum gedung baru dibangun, sebenarnya di sana ada tanah lapang. Di pojokan sebelah kiri ada sebuah pohon beringin yang besar. Daunnya lebat dan rantingnya tak beraturan. Seram memang. Tapi karena beberapa penjaga sekolah mengatakan bahwa mereka sering melihat sesuatu yang aneh dengan pohon itu, seperti penampakan perempuan bergaun putih di malam hari, kemudian pohon itu ditebang dan kemudian dibangun gedung baru. Dan toilet itu bertepatan dengan di mana pohon itu dulu terletak.

Saat gedung baru dibangun, aku masih kelas X. Aku tak tau apa cerita di balik gadis bergaun putih itu. Yang aku tau, ini semua pasti ada hubungannya dengan Reza, mantanku. Mungkin dia tau aku memutuskannya beberapa bulan yang lalu karena aku sebenarnya mencintai Bisma. Mungkin saja dia menyimpan dendam pada Bisma. Tapi apa hubungannya dengan gadis di pohon itu? Huft, ingin rasanya aku menjelajah sekolah ini tengah malam nanti.

***

Aku berlari kecil menuju kelas Bisma, XI IPA 6, sambil membawa setumpuk fisika. Saat itu Bisma, seperti biasa, sedang duduk di kursi panjang di depan kelasnya. Dan dia tersentak ketika tiba-tiba aku membanting tumpukan buku-buku tebal itu di sampingnya. Dia membelalak. Aku nyengir.

“Jadi ini dicari cos dan sinnya dulu, terus dimasukin rumus ini dikali silang, terus kalo bisa disederhanain. Abis itu cari gaya yang lain, lakuin hal yang sama. Lihat arah gayanya, kalo searah jarum jam positif, kalo berlawanan arah negatif, jadi abis itu....” Bisma mengalihkan pandangannya, menatapku dengan malas. “Hey! Kenapa sih bengong terus? Mau diajarin apa nggak??”

Kali ini Bisma menggertakku dengan nada yang lebih tinggi. Aku kembali terhenyak.

“Kalo kamu gak mau diajarin yaudah, aku gak mau ngajarin kamu lagi!” Dia membanting kasar buku fisika tadi di atas tumpukan buku-buku yang lainnya. Aku terdiam. “Lagian ngapain sih bawa buku banyak-banyak ke kelas aku? Di kelas kamu kan banyak yang pinter, ngabisin waktu aku aja!” Bisma membentakku, lalu berlalu meninggalkanku. Aku terpaku.

Tak biasanya Bisma marah seperti ini. Biasanya Bisma selalu ramah dan sabar menghadapi tingkah anehku. Apa dia sedang ada masalah?

Aku melihat Reza di depan kelasnya, XI IPA 5, sambil sesekali menatapku dengan dingin. Aku menghampirinya, menarik tangannya menuju taman belakang sekolah. Dia tampak heran.

“Ngapain kamu bawa aku ke sini?” tanyanya bingung.

“Gue tau kelakuan lo selama ini!” bentakku. Reza mengernyitkan dahinya. “Semua yang terjadi sama Bisma sekarang gara-gara elo kan?!” bentakku tak sabar.

“Eh, elo ngomong apa sih? Gue gak ngerti deh. Tiba-tiba elo ke kelas gue dan nyolot gak jelas begini.”

“Halah, ngaku aja deh lo! Lo kan yang bikin gue kekunci di kamar mandi?! Lo kan yang bikin Kak Dion sakit?! Semua gara-gara elo kan?! Lo gak suka kan liat gue suka sama Bisma, jadi lo sakitin semua orang yang deket sama Bisma?!” Aku geram.

“Eh, elo jangan asal tuduh dong! Lagian gue gak tau apa apa kok tentang si Bisma! Gue malah baru tau sekarang kalo elo suka sama Bisma.”

“Oke, gue emang gak tau, apa cerita di balik toilet di gedung baru itu. Tapi gue tau, semua ini pasti ada hubungannya sama elo, dan gue bakal cari sendiri buktinya!” Aku berlalu meninggalkannya.

“Asal lo tau aja, suatu saat lo bakal tau, apa yang sebenarnya terjadi, dan lo bakal nyesel dengan apa yang lo ucapin barusan!” Suaranya tenggelam dalam keramaian.

***

Hal ini memang terdengar nekat, tapi aku sudah membulatkan tekadku untuk menelusuri gedung baru sekolah malam ini. Sendirian.

Aku menyelinap melalui pagar samping sekolah, karena kalau penjaga sekolah tau, aku pasti akan diusir layaknya kucing mencuri ikan. Dengan berbekal senter, jaket, dan tas ransel berisi peralatan P3K, aku berlari kecil menuju arah toilet. Lututku sedikit gemetar. Tapi bayangan akan wajah tampan Bisma dan matanya yang bercahaya, membuatku mengurungkan niatku untuk kembali melesat menuju pagar.

Sekolah gelap. Tak satu lampu pun dinyalakan. Hanya terbesit sebuah cahaya dari balik pos jaga di depan sekolah. Aku tiba di XI IPA 6, yang terletak tepat di samping toilet. Aku menyinari sekelilingku dengan senter seadanya. Tak ada yang berubah. Suasananya sama seperti ketika tadi siang di sekolah. Tak tampak sesuatu yang menyeramkan di sini.

Aku duduk lemas di bangku panjang depan XI IPA 6. Sepertinya semua ini sia-sia. Tak ada apapun di sini. Aku memang bodoh. Buat apa aku ke sini malam-malam buta begini?

Aku baru hendak melangkah meninggalkan XI IPA 6 ketika terdengar sebuah suara. Bulu kudukku mendadak merinding. Suasana tiba-tiba mencekam, dingin. Lampu toilet yang sebelumnya mati, tiba-tiba menyala dengan sendirinya. Suara itu, berasal dari arah toilet. Lututku bergetar hebat. Aku melangkahkan kakiku menuju toilet. Suara itu semakin terdengar semakin nyaring. Suara seorang wanita yang sedang bersiul tak jelas. Senterku ikut bergetar hebat. Ya Tuhan, lindungi aku.

Aku masuk ke dalam toilet, dan aku mendengar suara itu tepat di samping telingaku. Mulutku tak henti-hentinya membaca doa. Aku menoleh ke arah samping. Dia! Kulihat sesosok gadis duduk dengan kaki menyilang di atas wastafel. Matanya yang bulat menatap tepat di mataku dengan tajam. Wajahnya putih pucat. Rambutnya hitam panjang tak karuan. Kedua tangannya sibuk memainkan ujung-ujung rambutnya. Dia memiringkan kepalanya ke arah kiri. Ekspresinya datar. Tapi kemudian dia tersenyum. Senyuman licik. Lalu dia melompat dari wastafel dan dalam sekejap mata sudah berada di tepat depanku. Matanya tajam menatapku. Angin dingin mengusap wajahku. Sekujur tubuhku bergetar hebat. Dia menerjangku. Senterku terjatuh dan mati. Semuanya gelap.

***

Aku membuka mataku. Gelap. Aku bangkit dari posisi tidurku. Pusing. Di mana aku? Aku ingat terakhir kali aku berada di toilet sekolah, dan senterku mati. Tapi sekarang, rasanya aku sedang tak berada di dalam gedung. Di mana ini? Rasanya dingin sekali di sini.

Aku merogoh saku jaketku, mengambil senter cadangan, lalu menyalakannya. Aku berpikir sejenak. Sepertinya aku tau tempat ini. Aku menyinari sekeliling. Ini seperti... lapangan kosong di samping sekolah sebelum gedung baru dibangun. Aku menoleh ke arah kiriku. Astaghfirullah! Gadis tadi bertengger di atas pohon besar di sampingku dengan posisi yang sama. Wajahnya semakin pucat. Matanya tetap tajam, dan senyumnya tetap licik.

Gadis itu menghilang. Aku melihat sekeliling. Tak ada apa-apa. Kosong. Ke mana gadis tadi?

“Hey....” suaraku bergetar, terdengar tak jelas. “Kamu di mana? Kamu siapa?” Aku menjaga diri, berputar melihat sekeliling. Suaraku terputus-putus. “Boleh aku tau sesuatu tentang dirimu?”

Tetap hening, tak ada jawaban. “Kamu... siapanya Bisma?” tanyaku hati-hati. Kemudian terdengar sedikit respon setelah aku menyebut nama Bisma. Gadis itu terkikik tak jelas. Tapi kemudian diikuti dengan isakan, dan suara tangisnya semakin nyaring. Dia menjerit tak karuan. Aku mebalikkan badanku. Dia berdiri tepat di hadapanku. Tapi tidak dengan senyuman licik. Wajahnya lusuh. Matanya sembap. Dia menatap tepat di mataku.

“Kamu, pacarnya Bisma?” tanyaku hati-hati. Dia sontak menutup telinganya dengan kedua tangannya rapat-rapat. Dia memejamkan matanya dan menggeleng kuat-kuat. Dan kembali menjerit sekeras-kerasnya. Kemudian menghilang.

Aku menoleh ke sekeliling. Tiba-tiba aku merasa nafasku sesak. Seperti ada sesuatu yang tak tampak yang mencekikku. Aku meronta-ronta. Aku tak bisa bernafas! Ya Tuhan, tolong aku! Senterku terlepas, nafasku terengah, mataku memerah, lidahku mulai menjulur. Apakah aku harus mati di tempat ini dalam keadaan seperti ini?

“Rena!” Tiba-tiba terdengar suara. Suara yang terdengar akrab di telingaku. Dan kemudian cekikan itu terlepas. Aku terbatuk-batuk, terjatuh tak berdaya. Aku hampir kehabisan nafas. Kemudian aku melihat seberkas cahaya menghampiriku. Bisma, kau kah itu? Lalu semuanya kembali gelap.

***

Saat itu matahari baru mulai menampakkan dirinya ketika aku membuka mataku. Kepalaku benar-benar pusing. Tenggorokanku sakit. Aku tau ini di mana. UKS. Apakah semalam itu hanya mimpi? Atau itu sungguhan? Kepalaku semakin pusing, badanku menggigil kedinginan. Siapa yang membawaku ke sini? Bisma kah?

Aku mendengar langkah kaki mendekati UKS. Aku menengok ke arah pintu. Aku terhenyak.

“Reza?” Kulihat dia tersenyum manis. Sangat manis. Aku sadar, aku begitu merindukan senyumnya.

Dia mendekati ranjangku, lalu duduk di sampingku. “Gimana, udah baikan?” tanyanya sambil membelai rambutku lembut. Ya Tuhan, aku merindukan belaiannya. Hal bodoh apa yang kulakukan sampai aku memutuskan Reza hanya untuk Bisma? Dia begitu menyayangiku!

“Kamu yang nolong aku semalem?” Tanyaku terputus-putus. Tenggorokanku panas, suaraku serak. Reza mengangguk pelan. Dia menatap mataku dalam. “Makasih yah,” ujarku tersenyum lemah.

“Udah, gak usah makasih. Yang penting kamu istirahat aja dulu,” dia membenarkan selimutku, lalu beranjak dari kasurku.

Aku menahan tangannya, “Kamu mau ke mana?”

“Aku mau bikinin teh hangat buat kamu, aku tinggal dulu sebentar yah,” dia tetap tersenyum.

“Jangan. Jangan tinggalin aku sendirian, aku takut....” suaraku terdengar parau. Sungguh, kali ini aku ingin menangis. Reza berbalik, kemudian kembali duduk di kasurku.

“Kamu kenapa semalem bisa ada di sana?” Reza terdiam, tak menjawab pertanyaanku. “Za?”

“Kamu beneran pengen tau ya?” Aku mengangguk pelan. “Ah dasar kamu emang suka penasaran orangnya.” Reza mencubit hidungku pelan. Aku tersenyum malu.

“Ih kamu, beneran nih, semalem itu sebenernya ada apa?”

“Aku ngikutin kamu,” ujar Reza singkat. “Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu. Aku tau kamu pasti bakal mencari tau sendiri, ada apa dibalik semua ini.”

“Hah?”

“Sebenernya bukan cuma semalem sih. Tapi dari beberapa hari yang lalu.”

“Maksudnya? Kamu udah sering ketemu dia?”

Reza mengangguk. “Iya, aku cuma cari tau yang sebenarnya, biar aku bisa kasih tau ke kamu. Tapi kamu malah nuduh aku.”

Aku menunduk malu, “Maaf.”

Reza hanya tersenyum sambil kembali membelaiku.

“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Dia mantannya Bisma,” Reza menghela napas sebentar. “Dia mati gantung diri di pohon itu, sehari setelah diputusin Bisma.”

“Hah?” Aku tak percaya mendengarnya. “Terus kenapa aku sering lihat bayangan kamu setiap ada kasus baru di toilet itu?”

Reza terdiam sejenak. “Mungkin itu hanya halusinasi kamu aja, yang diperdaya sama dia, biar kamu nuduh aku. Sampe sekarang arwahnya masih suka menghantui orang-orang yang dekat dengan Bisma.”

Aku menunduk. “Makanya dia mau bunuh aku semalem?”

“Iya, dia tau kamu suka sama Bisma. Dan aku rasa Bisma tau tentang hal ini, makanya belakangan Bisma berubah jadi penyendiri. Dia gak mau ada orang-orang yang dekat sama dia, karena dia gak mau ada korban lagi.”

Aku terpaku. “Tapi aku sayang Bisma...” aku terisak.

Reza menyentuh daguku, mengubah posisi kepalaku, membuatku terpaksa menatap matanya. “Suatu saat, kamu bakal nemuin jawabannya. Siapa yang sebenarnya kamu sayang. Yang harus kamu tau cuma, banyak orang yang sayang sama kamu. Kamu gak harus ngemis cinta Bisma. Semua ini cuma tentang waktu,” ujarnya, lalu meninggalkanku sendirian dalam kegalauan.

***

“Gue suka sama lo,” ujarku pelan. Dia terhenyak. “Tapi lo gak perlu jawab. Gue tau kok lo gak suka sama gue. Gue cuma mau bilang gue suka sama elo,” ujarku tersenyum, dan berlalu meninggalkan Bisma.

“Rena, tunggu!” aku menoleh. “Aku juga suka sama kamu!” Gantian aku yang terhenyak. Apa maksudnya semua ini? Puluhan gadis telah ditolaknya. Tapi ini kenapa? Kenapa...?

Aku merasa sekelilingku berputar, semakin kencang, kepalaku pusing, aku terjatuh, dan aku menyadari, aku kembali berada di malam yang hening, tepat di samping pohon beringin besar, dengan seorang gadis bertengger di rantingnya, menatapku tajam dengan senyuman licik di wajahnya. Aku terpaku. Benar-benar tak tau harus berbuat apa.

***

teman-teman yang berbaik hati, visit yaa http://pojokangalau.blogspot.com makasih :))




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline