Karya Zulfadli Kawom
Aku dilahirkan di Gerbe Abesinia, dari suku Hebesha. Nama kecilku Tesfaye, nama yang diberikan oleh orang tuaku yang berarti “harapanku” dalam bahasa kami Amharic.
Saat dikebiri aku hampir mati. Memang hanya sepuluh dari seratus orang kebiri yang selamat. Kini namaku Hassan, yang berarti pertama lahir. Memang aku bagai dilahirkan kembali setelah salah satu bagian penting dari anggota tubuhku hilang. Saat dikebiri aku masih beragama Kristen. Setelah beberapa bulan disucihama di sebuah tempat rahasia aku dijual ke Turki. Sesampai di Turki aku diislamkan oleh Sultan Turki, Murad IV.
Aku ditangkap oleh orang suruhan pendeta gereja Koptik. Saat itu sedang puncak musim dingin di kaki Gunung Ghebel dan usiaku delapan tahun. Aku ditangkap oleh para bandit itu saat sedang mengambil air yang jauh dari rumah. Aku berusaha kabur, namun aku terjatuh. Bangsat-bangsat itu menangkapku dan membawaku ke sebuah tempat di bukit yang sunyi. Hari itu menjadi hari yang paling sial bagi masa depanku. Organ pentingku hilang untuk selama-lamanya.
Ketika anuku akan dipertemukan dengan sebilah pisau, kaki dan tanganku dirantai di sebuah meja di sebuah bangunan tua yang jauh dari pemukiman. Lalu seseorang yang wajahnya tertutup topeng mengiris anuku. Setelah anuku lepas, mereka membubuhi sesuatu yang tidak aku ketahui karena saat itu aku memejamkan mataku menahan perih. Tanpa berkata apa-apa, bajingan-bajingan itu berlalu begitu saja. Kemudian mereka mengubur tubuhku di dalam pasir dengan posisi berdiri sampai ke leher. Kedua tanganku diikat ke belakang. Aku menyadari semuanya setelah siuman.
Beberapa bulan setelah pengebirian, aku dan anak-anak seusiaku dijual ke pasar budak. Kebanyakan dari kami mengalami pengebirian di tangan orang-orang koptik di Biara Gerbe Abou di Kaki Gunung Gheble Eter. Ada juga anak-anak seusiaku yang berasal dari daerah lain di Abesinia. Mereka dibawa ke Mesir dan Jazirah Arab. Seperti aku bilang, aku mereka jual ke Turki.
Kadang aku bertanya-tanya sendiri dalam hati kenapa orang-orang Turki terkutuk itu tidak dikebiri? Apakah agama mereka melarangnya? Mengapa mereka membeli kami? Aku juga kadang bertanya dalam hati, apakah para pendeta gereja Koptik yang telah menangkap, mengebiri, dan menjual kami benar-benar manusia beragama?
Saat sedang merenungi masa kecilku di Abesinia dan selama menjadi kasim di Istana Topkapi Turki, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku bangun dan membukanya. Rupanya pemimpin kami yang datang, Suleyman, pemimpin para kasim di istana. Saat di Istana Topkapi kami menyebutnya Kizlar Agasi atau Kepala Kasim Hitam. Mereka pejabat paling tinggi di istana kesultanan setelah Sultan sendiri, dan wazir. Suleyman bisa menghubungi sultan kapan dia mau dan menjadi utusan sultan untuk pelbagai urusan. Suleyman juga bisa menjadi penghubung antara sultan dan ibunya. Pemimpin orang kasim sangat kaya, juga sangat ditakuti, namun mereka sering diganti karena kasus mencuri uang sultan.
Aku mempersilakannya masuk. Tanpa basa-basi dia menceritakan maksud kedatangannya.
“Sultan Aceh,” Suleyman berkata. “Memerlukan seorang pengawal untuk anak laki-lakinya. Besok pagi-pagi kita akan menemui Sultan di balairung, apakah engkau bersedia Hassan”?
Apakah seorang budak bisa menolak? Dia sebut tadi menjaga seorang anak laki? Aku mengangguk tanda setuju. Aku pikir, ini kesempatan bagus untukku. Selama ini aku hanya seorang kasim yang bertugas menjaga dan memegang kunci gudang di Istana Topkapi.